Dalam Debat Publik Bupati Bantul tadi, saya sebenarnya mengajukan pertanyaan tentang "kuota 2 persen lowongan CPNS untuk difabel yang tidak terpenuhi." Masalahnya dimana?
Jadi, masalahnya ada di penafisran aturan kuota. Pemerintah, khususnya BKD, memilih menafsirkan kuota itu di awal, yaitu di pendaftaran CPNS. Lebih problematik lagi, pemerintah membatasi kuota itu dengan formasi tertentu. Misalnya, ada 100 lowongan, maka dipilihlah 2 formasi tertentu yang disediakan untuk difabel.
Nah, penetapan dua formasi ini seringkali terjebak dalam teknis yang merugikan difabel. Sebab, BKD yang menetapkan di awal 2 formasi itu apa. Misalnya, 2 formasi dibuka untuk 1 guru dan 1 untuk penyuluh.
Dengan teknis ini, formasi membatasi difabel yang bisa mendaftar. Batas pertama adalah ijazah yang bisa daftar. Difabel yang ijazahnya tidak cocok dengan dua formasi yang ditetapkan, tidak bisa daftar. Kedua, sering kali juga, pendaftar dibatasi jenis disabilitasnya. Misalnya, untuk penyuluh tidak boleh Tuli. Atau dengan ketentuan tambahan, "hanya difabel tunadaksa yang boleh daftar".
Dengan dua 'saringan' itu akibatnya adalah kuota difabel menjadi tidak terpenuhi.12 lowongan yang tersedia tahun 2019 di Bantul, tidak terpenuhi.
Saya berharap, pemerintah mengubah model ini. 2 persen itu dipenuhi pada saat kelulusan. Jadi, difabel boleh mendaftar di formasi mana saja asal sesuai dengan ijazahnya. Setelah proses seleksi, baru dipilih difabel untuk memenuhi 2 persen kuota dari seluruh formasi, tidak dari formasi yang telah dipilih di awal.
Pertanyaan saya ini tidak tayang di TVRI karena undian jatuh untuk dua anggota tim yang lain. Nah, walau pun tadi tidak tayang di tivi, semoga aspirasi ini bisa sampai ke pemerintah yang mana pun. Bukan hanya Bantul.
Posting Komentar