Roda Takdir

Setelah diculik, disiksa, dan dihinakan, si aktifis yang terduduk dirantai ke tembok itu bertemu dengan salah satu petinggi tentara Uruguay. Dengan congkak si tentara berkata, "Kau sudah kalah perang. Kau hancur, Pepe!"  hina si petinggi militer kepada José 'Pepe' Mujica. Pepe adalah satu dari 9 aktifis kiri anggota Topamaru yang diambil dari penjara dan dikucilkan di tahanan khusus yang kotor, gelap, dan keji sesudah terjadinya kudeta militer pada 1973.

"Kau akan mengubah dunia? Hahaha. Lihatlah dirimu. Mengapa kau tidak bunuh diri saja?" tanya si tentara sambil nyengir. Kekuasaan memang lebih sering sinis terhadap idealisme. Pepe hanya diam, tidak menjawab. Atau, ia memang tidak mungkin menjawab di bawah ancaman bedil dan penyiksaan. Atau, memang ia tak perlu menjawab waktu itu karena sejarahlah yang kelak menjawab. 

12 tahun ia jalani siksaaan dan penindasan itu, dan rejim militer Urugay pun jatuh. 20 tahun kemudian, plot twisted, Jose 'Pepe' Mujica yang dulu tak berdaya nyaris mati disiksa malah menjadi Presiden Uruguay. Pepatah lama mengatakan, "Roda takdir itu berputar, kadang di atas dan kadang di bawah." Kita hanya butuh tahu saja sedang di mana dan harus apa. Tidak perlu berlebihan. Tidak ada yang abadi.

***

Saya sudah masukkan "A Twelve Year Night", film drama yang didalangi Álvaro Brechner ini dalam My List sejak awal bulan, tetapi baru sempat menonton hari ini. Kalau Anda penggemar genre film based on real life, saya rekomendasikan film ini untuk Anda tonton di Netflix akhir pekan ini. 

Film ini bercerita (no spoiler) tentang penculikan dan penyiksaan para aktifis Uruguay di bawah rejim militer. Kisah mereka akan segera mengingatkan kita kepada peristiwa 1997-1998 di Indonesia atau lebih ke belakang lagi, 1965. Nasib para tahanan politik kiri Uruguay ini sangat mirip dengan PKI di Indonesia. Sebagian ditahan tanpa pengadilan, sebagian dihilangkan tanpa jejak. Kudeta militer 1973 di Uruguay juga didukung oleh Amerika Serikat yang suka berkhotbah tentang demokrasi, tetapi menghalalkan rejim militer otoriter untuk menguasai sebuah negeri, selama bisa melayani mereka. Mirip kan?

Kisah nyata si presiden dan dua temannya disajikan secara apik. Menceritakan kekejaman tanpa harus mengobral darah (hanya ada satu adegan menembak kepala). Waktu nonton, saya jadi berharap kisah-kisah para tapol PKI atau korban penculikan 1998 bisa difilmkan dari sudut pandang mereka seperti film ini. Setiap 30 September, kita sudah kenyang dicekoki versi Orba, kapan-kapan perlu versi mereka. 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama