Asal Bukan


Saya memaklumi 100% mereka yang harus kerja di luar rumah karena keadaan. Bagi mereka, pilihannya hanya ada dua: kerja keluar berisiko tertular atau di rumah tidak makan dan mati. Dalam Fikih, hukum kerja di luar bagi mereka sudah berkategori daruri, seperti memakan bangkai. Kalau tidak makan, mati.
Tetapi bagi mereka yang punya pilihan dan masih memilih kerja di luar, kumpul-kumpul yang bisa digantikan, berada di ruangan bersama orang yang tidak diketahui membawa virus atau tidak, apa yang mereka pikirkan?
Saya duga sumbernya adalah sikap 'asal bukan'. Sikap 'asal bukan' ini kita tiru atau (sebaliknya) diwakili oleh, pemerintah kita sendiri. Dulu, di awal Covid-19, pemerintah kita menyepelekan bahaya Covid-19. Seolah-olah, Covid-19 hanya akan berhenti di Cina. Kaidahnya, "asal bukan negara tetangga kita". Santai saja. Begitulah, ketika hampir semua negara ASEAN sudah tertulari, kita malah kampanye membuka pintu wisata. Kan asal bukan kita?
Lalu, tibalah virus itu di Jakarta. Kita yang di daerah mulai berfikir "asal bukan daerah kita". Lalu ketika virus sampai di daerah kita, kita berfikir, "asal bukan kota kita, asal bukan kecamatan kita, asal bukan kampung kita." Sampai kemudian, setelah enam bulan berjalan, "asal bukan kita" itu berarti "asal bukan saya."
Di Jogja, meski anak-anak belajar di rumah, guru-guru wajib mengajar dari sekolah. Full day. Normal mal! Ketika ada satu dua sekolah yang terpapar, sekolah anak saya salah satunya, apakah itu membuat sekolah istri saya mengubah kebijakan untuk WfH? Tidak. Karena sekolah istri saya bukan sekolah anak saya.
Ketika ada kabar kepala madrasah di Solo meninggal karena Covid-19, tidak ada lagi kepanikan di sini. Sebagian sekolah dasar bahkan sudah mulai menyelenggarakan kelas tatap muka terbatas. Mungkin karena pandangan tadi, "asal bukan sekolah kita." Jadi, selama sekolahnya sendiri belum terkena, guru tetap wajib kerja di kantor dan bila perlu diselenggarakan belajar tatap muka di sekolah.
Lebih mengerikan lagi, "asal bukan kita" itu sudah menjangkiti para wali murid. Sebuah survei menunjukkan lebih dari 85% menuntut diselenggarakan pembelajaran tatap muka di kelas. Tidak peduli pandemi terus memuncak. Asal bukan saya, anak pun nggak papa! Entahlah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama