Hasan Aoni Aziz


Sudah lama saya ingin menulis tentang orang-orang yang menginspirasi hidup saya sebagai rasa terima kasih dan apresiasi bahwa mereka pernah mengubah hidup saya. Jika tidak saya tulis, mungkin mereka tidak menyadarinya. Orang-orang itu kebanyakan bukan pahlawan seperti Diponegoro. Juga bukan tokoh politik berpengaruh seperti Sukarno, apalagi Suharto. 

Inspirasi itu kadang dari orang biasa yang di mata saya luar biasa. Atau orang luar biasa yang tidak dikenal umum saja. 

Salah satunya adalah tentang 'mas' ini. Sudah lama saya ingin menulisnya, mungkin dua tahun lalu atau kapan ketika saya terhubung kembali via Facebook. Tetapi selalu tertunda entah karena apa. Pas hari ini baca komentarnya di status Pakdhe Prie GS, yang berencana menulis tentang Cak Nun, keinginan saya untuk menulis tentang si mas muncul lagi. Tidak akan saya tunda karena seharusnya sudah lama saya melakukannya.

Saya yakin Mas Aoni tidak kenal saya ketika itu. Saya juga yakin ia bahkan tak akan mengingat sosok saya. Perjumpaan kami singkat. Perkenalan kami tidak personal. Tetapi pengaruhnya luar biasa. 

Saya termasuk orang yang tidak mudah kagum dengan orang lain, tetapi Mas Aoni adalah di antara pengecualian. Saya kagum, terpikat, lalu teringat detik perjumpaan itu sampai sekarang. Kalau umur saya lebih panjang, mungkin saya akan menulis obituari untuk kepergiannya seperti saya menulis untuk orang-orang baik yang telah mendahului kita. 

Jika itu pertemuan singkat, yang hampir pasti tidak ia ingat, apakah tidak berlebihan saya mengisahkannya? 

Mungkin. Mungkin berlebihan. Mungkin juga tidak. Terpenting, saya ingin Mas Aoni tahu dan Anda tahu bahwa kita kadang tidak pernah tahu efek perbuatan kecil, singkat, sesaat, terhadap orang lain.
Ingat kisah Parman si ojol yang diorder Melanie Subono lalu mengisahkan kembali pertemuan mereka 23 tahun lalu dan bagaimana pertemuan itu mengubah hidup si ojol? Melanie tidak ingat sama sekali, bingung, bahwa ia pernah membelikan sandal jepit buat anak itu. Si yatim ia tolong berjanji meneruskan kebaikan itu dalam jalan hidupnya. Hanya sandal jepit!

Mas Aoni memberi saya lebih dari sandal jepit. Hari itu, saya mahasiswa baru di IAIN Walisongo cabang Sriwedari. Saya hanyalah satu di antara seratusan peserta OSPEK. Mas Aoni datang mewakili majalah mahasiswa IAIN Walisongo yang sekarang saya lupa apa namanya. 

Ia tampil percaya diri. Berambut gondrong, menggunakan jaket/baju dengan kancing terbuka membalut kaos di dalamnya. Ia tidak memakai jaket almamater seperti senior yang lain. Hari itu ia mengenalkan pers mahasiswa. Ia bercerita dengan bahasa yang memukau, gestur yang meyakinkan, dan materi yang mematri mimpi. 

Di mata saya detik itu, sosok mas Aoni adalah impian sempurna saya tentang “intelektual yang aktivis dan aktivis yang intelektual”. Ia menjadi wujud orang pintar yang tidak hanya menggunakan bahasa elit kampus tetapi juga bahasa populer pers untuk pembaca luasnya. Kata saya dalam hati, aku ingin menirunya! 

Anda yang mengenal langsung Mas Aoni secara dekat, mungkin tidak melihat apa yang saya lihat. Tetapi kadang kita hanya membutuhkan fantasi untuk bergerak dan beraksi melebihi imaji. Dan Mas Aoni memberi saya fantasi itu. Sejak momen itu, saya lebih rajin belajar menulis. Karena belum ada pers mahasiswa, saya salurkan aspirasi saya itu lewat media massa. Di koran Bernas Jogja waktu itu ada kolom khusus mahasiswa, belasan kali tulisan saya dimuat dan uangnya membantu hidup saya.

Seperti Melanie Subono, kebaikannya mungkin hanya sandal jepit dan Mas Aoni hanya sebuah fantasi, tetapi sesunggunya tidak perlu menunggu besar dan banyak untuk berbuat baik. Siapa tahu apa yang kita anggap ‘hanya’ dan ‘cuma’ adalah titik balik hidup orang lain. Ya “titik” saja karena becik ketitik. 

----------------------------------
NB: Ternyata, saya tidak salah menangkap inspirasi saat 27 tahun lalu itu! Bahwa beliau itu inspirator terbukti dengan penghargaan Permuda Inspirator Revolusi Mental yang pernah ia terima. 

  

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama