Khutbah: Agama bukan Empon-empon


Dikisahkan dalam berbagai kitab tarikh, dengan dua versi yang saya coba rangkum di sini, bahwa suatu ketika di zaman Khalifah Umar bin Khattab terjadi wabah penyakit yang melanda negeri Syam, salah satu wilayah yang baru ditaklukkan tentara Muslim. Beberapa sejarahwan, seperti Albaladzuri, menyebut peristiwa ini sebagai Ta’un Amwas (atau wabah yang terjadi di daerah Amwas, Palestina sekarang). Menurut Ibn Atsir, wabah ini merenggut nyawa 15.000 orang. Di antara korbannya adalah Sahabat-Sahabat terkemuka seperti Abu Ubaidah Amir b. al-Jarrah dan Muadz b. Jabal.

Mendengar kabar ini, Khalifah Umar yang awalnya berencana melakukan kunjungan lapangan menjadi bimbang. Awalnya beliau meminta nasehat para sahabat Muhajirin. Mereka ternyata berselisih pendapat, ada yang mengusulkan agar khalifah tetap melakukan kunjungan dan ada yang mengusulkan agar khalifah membatalkan perjalanan. Lalu, beliau minta pendapat para Sahabat Ansor, dan mereka juga terbelah pendapatnya.

Keputusan khliafah Umar diambil setelah mendengar masukan dari para sahabat senior dari kalangan Quraisy. Keputusannya adalah dengan membatalkan kunjungan dan meminta Sahabat Senior yang memimpin pasukan Muslim di sana, Abu Ubaidah untuk kembali. Sayangnya Abu Ubaidah menolak dan memilih bersama pasukannya untuk menjemput apa yang ia yakini sebagai takdir Allah dan meninggal karena wabah itu.

Khalifah Umar waktu itu mengatakan, “Datang ke Syam adalah takdir. Membatalkan kunjungan ke Syam juga takdir. Kalau kalian menggembala kambing, di depan kalian ada dua padang gembala, yang satu subur banyak rumput dan mata air, lalu yang satunya kering tanpa rumput, maka pilihan kalian adalah takdir. Ke padang yang subur adalah takdir. Ke padang yang kering kerontang juga takdir. Maka pilihan pada kalian.

Hadirin yang dimuliakan Allah. Kisah khalifah Umar ini memberi teladan yang baik kepada kita tentang bagaimana beragama yang rasional ketika terjadi wabah seperti virus Corona saat ini. Tidak disebutkan dalam riwayat itu, misalnya, bahwa Khalifah menyebut wabah itu sebagai bantuan tentara Allah untuk para mujahid di Syam. Khalifah juga tidak mengatakan bahwa doa qunut akan menyelamatkan perjalanannya dari terjangkit penyakit yang mewabah. Jika wudu bisa mencegah penyakit, tentu khalifah Umar adalah orang yang paling baik menjaga wudunya dan harusnya merasa kebal dari wabah Taun dan tidak perlu takut menemuinya.

Para juru bicara agama sekarang ini kadang seperti bakul jamu empon-empon. Mumpung musim Corona, jualannya diberi cap sebagai penangkal virus Corona. Seperti bakul jamu, para tokoh agama itu mengatakan ajaran-ajaran agamanya bisa menangkal virus Corona. Sayyiduna Umar bin Khattab, dalam riwayat-riwayat itu, tidak melakukannya; agamawan yang jauh di bawah levelnya malah sebaliknya.

Teladan yang diberikan Sayiduna Umar adalah dengan melakukan rapat koordinasi dengan para Sahabat senior untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang wabah itu dan meminta masukan kebijakan apa yang perlu diambil. Demikianlah, seorang Sahabat senior, murid langsung kanjeng Nabi, khalifah kedua, memberikan teladan rasional kepada kita untuk tidak menyalahgunakan sebagian ajaran agama guna menyesatkan umat dengan pendapat-pendapat yang tidak bijaksana dan berguna dalam mencegah persebaran virus Corona.

Semoga, kisah singkat dan teladan Khalifah Umar ini dapat menjadikan kita untuk selalu mengedepankan akal sehat dalam beragama, mengedepankan kemanusiaan, solidaritas, saling bantu membantu di saat susah, bukannya menggunakannya sebagai alat penebar kebencian.

***

Ada satu kisah di Wuhan yang mungkin patut saya ceritakan di sini. Ketika kota itu diblokir, hampir semua perusahaan pengiriman paket di China menutup operasinya, kecuali dua perusahaan yang tetap menjalankan bisnisnya. Mereka memutuskan tetap beroperasi tetapi hanya untuk melayani pengiriman alat-alat medis dan perangkat kesehatan seperti masker. Ketika wartawan bertanya kepada salah satu pengantar paket di perusahaan itu, “Pak, apakah Bapak tidak iri harus bekerja seperti ini sementara teman-teman Bapak di perusahaan lain diliburkan?” Jawaban si tukang antar paket itu sangat mengejutkan, “Tidak, sama sekali tidak. Justru mereka yang diliburkan itu yang seharusnya iri dengan kami. Sebab, dengan tanpa libur kami diberi kesempatan untuk membantu masyarakat kita yang sedang susah. Membantu saudara-saudara kita yang sedang sakit.” Rasa kemanusian, solidaritas, peduli, dan rela berkorban untuk sesama inilah yang menjadi salah satu kunci penting teratasinya wabah Corona di China. Dalam dua-tiga hari terakhir, angka orang terinfeksi dan yang meninggal sudah menurun drastis di Wuhan.

***
Hadirin yang dimuliakan Allah. Tentu saja kita tetap wajib berdoa karena di situlah jantung ibadah kita. Tetapi tentu saja setelah kita berusaha. Mari dengan tulus kita memohon semoga kita diselamatkan dari wabah Corona ini dan terlebih lagi diselamatkan dari sifat egois, serakah, dan tidak peduli sesama, yang akibatnya lebih mematikan daripada virus Corona sendiri.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama