Menggugat Tuhan yang Maskulin

Menggugat Tuhan Yang Maskulin
Oleh: Kaukab Siddiqui
Terbit: Oktober, 2002
Halaman : 182 + xviii
Penerbit: Paramadina, Jakarta
Judul Asli: The Strugle of Moslem Women
Penerbit: American Society for Education and Religion (1983)
----------------

Apakah Allah laki-laki atau perempuan?" Lalu, "Apakah hanya laki-laki yang menerima wahyu?" Dan, "Apakah perempuan bisa menjadi imam bagi jamaah laki-laki?", dan pertaayaan-pertanyaan semisal dimunculkan dalam buku ini. Kita tahu bahwa mengajukan saja pertanyaan-pertanyaan semacam itu terkadang dianggap tabu, tidak pantas mempertanyakan jenis kelamin Tuhan atau pertanyaan syirik karena mengasumsikan personifikasi Tuhan, dan seterusnya.

Namun, bagi Kaukab Siddique, penulis buku ini, tampaknya justru pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus diajukan dan diberikan jawabannya, sebab persoalan-persoalan yang mengganjal itulah yang selama ini telah menjadi tulang punggung agama laki-laki untuk menindas kaum perempuan. Jika perempuan hendak dibebaskan, maka iman yang male oriented inilah yang harus dibongkar. Pertanyaan pertama di atas lalu ia jawab: Tuhan tidak maskulin, tidak pula feminin. Walaupun Tuhan menggunakan kata ganti huwa, itu sama sekali tidak menunjukkan kemaskulinannya. Justru, Tuhan paling sering menyebut dirinya sebagai rahman dan rahim, yang berakar kata sama dengan kata 'rahim' yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan.

Siddique juga menggugat bangunan 'agama laki-laki' dengan menjawab persoalan imamah perempuan di dalam salat, ia pun maju selangkah. Jadi, jangankan untuk menjadi pemimpin negara, yang ini saja masih banyak ditentang para agamawan pria, menjadi imam salat pun boleh. Bukankah orang yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling fasih dan ahli  Alquran? Jika dalam suatu ma syarakat ada seorang perempuan yang lebih fasih dan lebih ahli Alquran, mengapa tidak ia yang menjadi imam salat? Siddique sendiri mengajukan sebuah haqis dari Abu Dawud dan bukti sejarah untuk mendukung pendapatnya.

Buku ini mungkin tidak baru lagi, tetapi tema-tema yang diangkatnya, selain masih tetap aktual, juga menggelitik dan mengundang penelitian lebih lanjut untuk melihat persoalan agama da:n perempuan secara lebih serius.

Jakarta, Kampus LIPIA Buncit
Pertengahan 2001

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama