Salat: Napak Tilas Isra' Mi'raj | Khutbah Jumat, 6 Mei 2016


الحَمْدُ للهِ العَلِيِّ الأَعْـلَى، أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيلاً مِنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ إِلَى المَسْجِدِ الأَقْصَى، لِيُرِيَهُ مِنْ آيَاتِهِ الكُبْرَى، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، أَيَّدَهُ رَبُّهُ بِالمُعْجِزَاتِ الظَّاهِرَةِ، وَالبَرَاهِينِ السَّاطِعَةِ،  وَعَىَه آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنِ اهتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤمِنونَ

Jamaah Salat Jumat yang dimuliakan Allah.

Seperti kita ketahui, kemarin tanggal 27 Rajab kita bersama-sama memperingati Isra’ Mi’raj. Para ulama berbeda pendapat tentang tahun terjadinya peristiwa penting ini. Sebagian berpendapat Isra’ Mi’raj terjadi satu tahun sebelum Hijrah; sementara sebagian lagi berpendapat 5 tahun sebelum hijrah.
Isra’ Mi’raj terdiri atas dua pengertian. Isra’ yang berarti perjalanan dari masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa; dan Mi’raj  yang berarti perjalanan dari Masjid al-Aqsa ke Sidratul Muntaha di Langit ketujuh.

Para ulama sependapat bahwa Isra’ dan Mi’raj adalah perjalan jasmani dan ruhani. Isra’ Mi’raj bukan mimpi. Isra’ mi’raj bukan ilusi. Nabi melewati perjalanan jasmani dari tempat-tempat yang nyata di masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsa. Nabi melewati perjalanan ruhani karena menembus ruang dan waktu bertemu dengan para nabi pendahulunya dari langit pertama ke langit ketujuh.
Hadirin yang dimuliakan Allah.

Karena Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan jasmani dan ruhani, tidak mengherankan jika hadiah dan oleh-oleh yang beliau bawa dari perjalanan itu adalah perintah ibadah yang bersifat jasmani dan rohani. Seperti kita ketahui, oleh-oleh terpenting Isra’ dan Mi’raj adalah perintah salat lima waktu.
Salat adalah ibadah jasmani karena kita diajari beribadah dengan niat di hati, dengan gerakan dan ucapan-ucapan tertentu. Salat adalah ibadah fisik yang aktif. Tidak boleh kita menunaikan salat hanya dengan membatin. Hanya dengan mengingat Allah. Bacaan salat harus diucapkan. Takbir dengan menggerakkan tangan. Rukuk dengan menggerakkan badan. Dan sujud dengan menunduk-rendahkan anggota badan. Jika ada gerak yahg tertinggal, bacaan yang lupa, kita wajib mengulangi atau menggantinya dengan sujud sahwi.

Maka Isra’ Nabi adalah perjalanan fisik aktif sebagaimana salat kita adalah gerakan fisik. Meski mungkin pengetahuan kita yang terbatas belum mampu menjelaskan bagaimana perjalanan fisik di luar batas hukum fisika itu dilakukan, kita tetap beriman sebagaimana imannya Abu Bakar as-Siddiq. Di tangan Allah yang maha kuasa, bukankah tidak ada hal yang mustahil bila Dia menghendaki?
Sebagaimana salat, konon Nabi disucikan badannya oleh Jibril. Dadanya dibelah dan disucikan dengan air zam-zam. Salat kita juga dimulai dengan mencusikan anggota badan kita. Salat harian dengan wudu. Bahkan salat jumat disunnahkan dengan mandi besar. Untuk memulai perjalanan dan tujuan yang suci, maka kita harus bersuci.

Sebagaimana Mi’raj, salat kita terutama adalah perjalanan ruhani. Jika Nabi bertemu dengan Allah di Sidratul Muntaha dalam Mi’raj, kita juga berjumpa dengan Alllah di dalam Salat. Kalau bisa, kita seolah-olah melihat-Nya; jika tidak, minimal kita bisa merasa Allah ada menyaksikan kehadiran kita yang tunduk kepada-Nya. Untuk mengangungkan asma-nya, untuk memuji, untuk berterimakasih atas nikmat-Nya, memohon ampun atas dosa dan kelalaian kita. Dan memohon bimbingan untuk perjalan hidup kita di dunia sebagai bekal menemui-Nya kelak di alam abadi.

Hadirin yang berbahagia
Maka Isra’ Mi’raj dan Salat adalah dua sisi mata uang yang tak terpisah. Jika ingin merasakan pengalaman Isra’ Mi’raj Nabi; menapaktilasi perjalanan suci lima belas abad yang lalu itu; kita dapat menikmatinya lewat salat-salat kita. Hayati perjalanan dari awal bersuci hingga menengok salam sebagai perjalanan ruhani kita ke sidratul muntaha. Menurut mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Mu’asir,  kalimat balagha sidratal muntaha itu dapat berarti “mencapai tujuan yang tertinggi”.

Dalam salat, sidratul muntaha kita adalah bila salat kita mampu tanha ‘an al-khsya’ wa al-munkar. Kalau salat kita berdampak pada kemampuan untuk mengendalikan diri sehingga kita tidak berbuat fakhsya dan munkar (al-Ankabut:45):
ٱتۡلُ مَآ أُوحِيَ إِلَيۡكَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُونَ ٤٥
Sebagian ahli tafsir mengartikan fakhsya sebagai perbuatan yang melampaui batas kewajaran maupun batas yang dibolehkan syariat; sementara munkar adalah perbuatan yang dilarang. Pribadi yang terhindar dari fakhsya dan munkar adalah pribadi yang luhur, yang tidak hanya baik tetapi juga berguna bagi masyarakatnya.

Salat kita, karena itu adalah media yang dapat mengantarkan kita ke sidratul muntaha, baik dalam pengertian puncak perjalan spiritual maupun puncak keluhuran budi di mata sesama manusia.
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah. Semoga kita diberi kekuatan dan hidayah untuk senantiasa menunaikan salat. Semoga kita, sebagaimana doa baginda Nabi Ibrahim, diberi anak keturunan yang istiqamah menunaikan salat.
رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ ٤٠ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلۡحِسَابُ ٤١
Barakallahu li wa lakum….

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama