Tak Perlu Membela Jokowi

Koran pagi ini
Selama masa kampanye hingga akhirnya diketok palu KPU, entah berapa kali saya menerima kritik atas sikap terbuka saya, atas pilihan saya, dan atas keberpihakan saya pada Jokowi. Akhirnya, setelah semua hiruk pikuk usai (ah, anggap saja usai, biarkan yang ribut itu melanjutkan keributannya sendiri), saya perlu menuliskan latar belakang pilihan politik saya. Saya jelaskan di blog ini, dalam benak saya, minimal untuk dibaca anak-anak saya kelak ketika mereka dewasa dan mungkin akan menghadapi hal-hal yang serupa di masa depan.

Sebagian dari sikap politik saya hari ini, jujur saja, dibentuk oleh pengalaman bapak saya. Sebagian pengalaman itu ditanamkan lewat diskusi-diskusi kecil kapan pun waktunya memungkinkan, sebagian lewat kesaksian pada kegiatan politik di rumah kami, di lingkungan kami, dan (yang bapak sendiri mungkin tidak tahu) dari catatan-catatan buku harian di masa muda bapak yang secara tidak sengaja saya temukan di anatar buku-buku bekas di almari rumah. Untuk yang terkahir inilah saya selalu merasa penting untuk menulis apa yang saya alami agar sejarah tak dilupakan, agar waktu yang kita habiskan tidak hilang begitu saja, dan agar anak-anak saya bisa belajar dari masa bapaknya.

Pertama, saya memberikan suara kepada Jokowi bukan karena membela Jokowi. Saya ingin menekankan ini karena beberapa teman mengatakan, "Ngopo cah cah mbelo Jokowi!" Saya setuju, buat apa membela Jokowi. Ia tampak dibela karena kebetulan ia berada di sisi yang menurut ijtihad politik saya harus dibela. Sejak mulai munculnya nama-nama calon presiden, satu nama yang pasti tidak akan saya pilih: Prabowo Subianto. Mengapa? Tanggal 4 Juli 2014 saya tulis dan upload gambar ini.


Menurut hemat saya, militerisme itu ide yang kompleks, yang disusun dan ditopang dengan berbagai pembenaran, klaim, hingga praktik yang tidak bisa saya terima sebagai orang sipil. Saat debat pertama, JK mengajukan pertanyaan soal pelanggaran HAM kepada Prabowo dan jawabannya mencerminkan betul a set of mind itu. Kurang lebih ia mengatakan, "tindakan saya [penculikan 1998] adalah untuk melindungi rakyat dari para pembuat bom, yang akan mengancam keselamatan rakyat." Dan karena itu tindakan menculik, seperti tindakan membom dalam kartun tersebut, menjadi legal. Apa yang bagi kita, warga sipil, sebagai sesuatu yang tidak pernah legal, seperti menculik dan membunuh, ada kemungkinan legal-nya bagi para tentara. After all, they are trained to kill, right?

Jadi, kebetulan saja ada dua calon presiden: satu sipil dan satu militer. Saya memilih Jokowi karena membela prinsip anti-militerisme yang saya anut. Dikotomi sipil-militer, kata teman saya, sudah basi. Tetapi tidak bagi saya karena pengalaman saya dan, mungkin Anda terkejut, bapak saya! Salah satu fragmen pengalaman politik bapak saya yang sangat mempengaruhi saya adalah beliau dibawa dan dihajar di kantor Babinsa hanya karena beliau mengkhutbahkan ide yang tidak direstui rejim Orde Baru.

Jika bapak sudah mengalami itu di awal-awal masa Orde Baru (1970an), sebagian dari kita yang menjadi mahasiswa pada tahun 1990-an tentu tahu rasanya militerisme Orde Baru. Saya katakan sebagian, karena tidak semua mau merasakannya pada tahun-tahun itu. Demo-demo hari buruh atau kasus-kasu seperti Kedung Ombo di depan Balai Kota Solo atau di depan gerbang kampus UNS, sering hanya diikuti 20-an orang. Diskusi-diskusi kelompok mahasiswa penentang Orba, juga hanya diikuti oleh 10-an orang. Pada saat-saat itulah arti militerisme itu akan kau rasa betul menindas hidupmu: membaca buku dilarang, berbicara hati-hati, berkumpul dibubarkan, rasan-rasan pun terdengar, dan pagi-pagi gelap bisa saja mereka datang menjemputmu karena kau mengatakan sesuatu (ah, aku yang naif bahkan tidak tahu pernah ngomong apa hingga dua tentara itu membawaku ke markas mereka.)

Maka, awalnya memang bukan soal Jokowi, tetapi mencegah lahirnya militerisme baru. Tanggal 8 Juli, sehari sebelum pemilihan saya menemukan alasan mengapa kita harus memilih Jokowi. Ia adalah anti-tesis terkuat militerisme karena Jokowi itu justru bukan siapa-siapa! Jokowi itu hanya Kristoff!


Kedua, saya juga tidak membela Jokowi karena, sungguh, yang saya bela adalah akal sehat. 'Emosi akademik' (hem, emosi akademik?) saya tercabik-cabik karena begitu mudahnya orang, bahkan teman-teman dosen juga, mengabaikan akal sehat dalam mencerna berbagai informasi yang membanjir di media online. Kita seringkali gagal membedakan mana fakta, mana fitnah, mana berita, mana hoax, mana sumber terpercaya, mana sumber abal-abal. 

Setelah tanggal 9 Juli, khususnya, pembunuhan akal sehat besar-besaran terjadi ketika kubu Prabowo berusaha keras menyangkal tanda-tanda kemenangan yang mengarah ke kubu Jokowi. Saya yakin, ring satu mereka tahu kekalahan itu sudah di depan mata. Klaim-klaim kemenangan dari kubu mereka, saya percaya, hanya digunakan untuk mengelabuhi massa pendukungnya dan membingungkan pendukung Jokowi. Salah satunya saya rekam dalam tulisan saya: untuk apa lagi berbohong. 

Ketiga, selain akal sehat, lawan kubu Prabowo adalah ilmu pengetahuan dan kebenaran ilmiah. Dalam konteks ini pula saya tidak sedang membela Jokowi. Sebagai bagian dari dunia akademik, saya harus membela kebebnaran akademik ini. Bagi saya, quick count itu bisa dipercaya. Selama dilakukan dengan motiv akademik, dikerjakan dengan integritas akademik, dan hanya mengabdi kepada kebenaran akademik, maka tidak akan ada dalil untuk menolak akurasi Quick Count. 

Kepercayaan saya kepada quick count didasarkan pada banyak alasan. Diantaranya, QC dilakukan oleh lembaga-lembaga kredibel yang sebagian pernah melakukan hal yang sama dalam event-event sebelumnya baik pilpres maupun pilkada. Dalam bahasa laboratorium, alat mereka  teruji, kesalahan sudah diminimalisir. QC itu jauh lebih simpel daripada penelitian-penelitian prilaku politik lainnya karena ini hanya soal sampling suara saja. Dengan pengalaman yang cukup tadi saya kira lembaga-lembaga QC punya cukup data untuk melakukan stratified sampling yang pas. Dan itu akan cukup untuk menjamin keakuratan hasilnya. Karena itulah saya tidak ragu-ragu membela Quick Count dalam tulisan saya: Quick Count bisa Dipercaya.

Tampaknya kubu Prabowo memang bukan kubu yang percaya kepada Quick Count. Mereka adalah sekolompok orang yang percaya bahwa Quick Count itu hanya permainan angka yang bisa mereka beli, dan karena itulah mereka membeli lembaga yang mau memenangkan mereka. Ketidak-percayaan kubu Prabowo pada QC dapat kita lihat dalam tulisan penasehat politik Prabowo, Rob Allyn di New Mandala:  Every vote must be counted, every voice must be heard.

Membaca tulisan konsultan politik setenar itu, saya benar-benar nggak habis pikir bagaimana mungkin ia meremehkan quick count, apakah itu karena ia memang benar-benar tidak mengerti politik Indonesia atau karena benar-benar tidak percaya pada metode ilmiah. Melihat argumennya berikut, saya koq lebih percaya orang ini bukan orang pintar dan dibayar mahal sebagai konsultan politik karena kelicikan strateginya saja!


Jika saya diminta untuk mengevaluasi penyebab kekalahan Prabowo, maka nama Rob Allyn akan saya daftar sebagai kesalahan terbesar dan mungkin termahal yang mereka lakukan! Mending menyewa konsultan dari fakultas sebelah di UIN Sunan Kalijaga yang getol membela Prabowo itu :)

Jadi, untuk mereka yang bertanya tentang apa yang saya lakukan dan saya katakan di Facebook selama kampanye pilpres, inilah alasan saya: bukan demi Jokowi, tetapi demi prinsip-prinsip yang kebetulan selaras dengan posisi Jokowi. Salam.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama