Quick Count bisa dipercaya, kecuali QC pesanan!

Perang kita sekarang pindah. Kata Pak Mahfud, adu klaim kemenangan quick-count itu bagian dari "Cyber War" (yang bener, kata timses Prabowo psywar).

Setelah banjir fitnah dan berita miring menjelang pilpres lewat social media dan televisi, kini peperangan dipindah ke quick count. Tentu saja, nadanya sama. Satu pihak berpikir positif terhadap hasil-hasil quick count lembaga independen, lainya bilang "quick count tidak bisa dipercaya".

Saya menemukan kampanye semisal ini beredar di Facebook.


Apa pesan dari kampanye ini? Ada tiga pesan yang ingin saya garis bawahi.

Pertama: Tunggu Saja KPU!

Pada dasarnya saya setuju. Keputusan akhir toh ada di tangan KPU. Tetapi, saya ingin ingatkan keputusan KPU itu adalah keputusan politik, kebenaran angka yang dikeluarkan KPU adalah 'angka politik', dihasilkan dari sebuah proses politik, mulai dari pencoblosan, penghitungan di TPS, hingga rekapitulasi data nasional.

Saya menekankan pengertian 'kebenaran politik' itu karena kita jangan sampai lupa bahwa 'angka KPU' itu bisa bohong, ia tidak selalu merepresentasikan kebenaran empiris. Kita tahu kan ada ratusan kasus Pilkada disidangkan setiap tahunnya? Artinya, angka-angka di KPU pun bukan kebenaran absolut, bukan kebenaran sejati, apalagi kebenaran Ilahi. 

Angka KPU adalah 'angka politik' dan bisa jadi 'angka pengadilan'. Bush tahun 2000, misalnya, menang pemilu di Amerika lewat keputusan pengadilan!

Nah, agar 'angka KPU' benar-benar angka empiris suara rakyat, dua pihak harus punya niat baik untuk tidak mencuri angka di level mana pun. Saya khawatir, jangan-jangan ketika KPU sudah membuat pengumuman resmi pun nanti ada pihak yang bilang 'KPU curang' dan  dibawa ke MK.
Kita lihat nanti!

Kedua: Quick Count tidak bisa dipercaya!

Entahlah, hanya dengan membandingkan jumlah sample dan margin erorr (koreksi: margin of error), pembuat poster ini mengajukan pertanyaan yang sangar "bagaimana mungkin hasil quick count dijadikan patokan pemilu?" Untuk menjawab pertanyaan itu, Anda nggak bisa hanya berdasarkan pembandingan sample dan margin of error. Ada soal distribusi sample, ada soal standar deviasi, dst. 

Well, jujur saya bukan tukang quick count. Saya nggak berkepentingan untuk membela mereka. Saya hanya berharap, lembaga-lembaga quick count bersatu melawan deligitmasi ini. Lembaga quick count wajib menjelaskan ke publik bahwa mereka bisa dipercaya. Kalau tidak, rugi sendiri mereka nanti. 

Tetapi saya bisa menggunakan data dari artikel ilmiah berikut untuk membantu mereka. Saya menemukan sebuah tulisan di sebuah jurnal ilmiah, diterbitkan oleh universitas Retsumei di Jepang, yang bisa membuktikan kehandalan lembaga-lembaga penyelenggara quick count kita (artikelnya silakan unduh langsung di http://www.ritsumei.ac.jp/acd/cg/ir/college/bulletin/Vol.24-3/04Agus.pdf).

Saya kutipkan bagian terpentingnya berikut:


Pihak yang biasanya tidak percaya quick count itu politisi yang kalah. Sebab, seperti terlihat dalam tabel tersebut, prediksi mereka sangat akurat, selisihnya dengan hasil resmi KPU hanya 0.1 - 0. 47 saja. KECUALI, ini yang wajib dicatat, hasil quick count versi PUSKAPTIS!!! yang lain di bawah 0,5, Puskaptis empat kali lipat lebih tinggi kesalahannya: 1,9! 

Kesimpulannya apa? Quick Count itu bisa dipercaya! Kecuali, quick count pesanan yang mengabdi tidak kepada kebenaran tetapi nafsu politik. Sebagai senjata "psywar", bukan sebagai prediksi ilmiah. Tuan mereka bukan kebenaran, tetapi uang. Mereka tidak peduli kredibilitas lembaga karena lembaganya bisa saja mereka bubarkan, ganti lembaga baru dan mengabdi kepada tuan baru. Apakah Anda kira Quick Count Kompas berani mempertaruhkan kredibilitas seperti itu? Membubarkan diri kalau ternyata salah?

Pesan Ketiga: Jangan coba Main-main dengan Quick Count

Ini pesan yang tidak tertulis. Pesan yang justru harus dicatat dari komentar orang tentang poster tersebut tentang kasus PDIP dan Megawati tahun 2004. Saya tidak peduli yang dikutip itu orang UGM atau mana, who cares? Saya justru ingin menggarisbawahi bahwa pada tahun 2004 itu Megawati melakukan kesalahan besar: tidak percaya quick count independen dan membuat quick count sendiri! Malu-maluin tahu!


Menyamakan deklarasi kemenangan Jokowi 2014 dengan Megawati 2004 itu salah besar. Kesamaan keduanya hanya pada partainya, bukan soal kehandalan metode quick count. Kalau mau menyamakan, justru sikap Megawati 2004 itu sama dengan sikap kubu Prabowo 2014: membantah survei independen dengan memakai survei sendiri. 

Ingat lho, Kompas, CSIS, LSI, RRI, Populi Center, IPI, dan SMRC  itu independen. Anda nggak bisa menyebut mereka sebagai quick-count nya JKW-JK! sebagaimana Tantowi Yahya menyebut Puskaptis dan kawan-kawan sebagai quick count "kubu kita" (nah! kita bayar maksudnya?): 


Sikap tersebut persis sikap PDIP dan Megawati 2004. Memalukan dan karena itu jangan ditiru! Jokowi 2014 tidak membayar RRI/TVRI atau CSIS dkk.

Saya Bukan Politisi

Saya menulis masalah ini karena saya bagian dari lembaga akademik dan mendapatkan amanat untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Dalam profesi itu, kebenaran yang kami junjung adalah kebenaran ilmiah, kebenaran yang salah satu bentuknya dipakai oleh lembaga-lembaga quick count independen. Kalau saya tidak percaya kepada metode ilmiah dan hasilnya, berarti saya tidak percaya kepada etik profesi saya. 

Tentu saja saya akan menghormati keputusan dan kebenaran politik KPU, karena saya warga negara sebuah entitas politik bernama Indonesia. Tetapi saya bukan politisi, saya tidak mau tunduk pada psywar dan bahasa-bahasa kebenaran para politisi. Maaf.
***

3 Komentar

  1. Keren tulisannya, membuka mata pengetahuan.

    BalasHapus
  2. Biarin aja RRI ikut survey....wong kita nggak bayar kok.....suka 2 dialah....yg penting jangan kaya Puskaptis....

    BalasHapus
  3. soal artikel jepang itu.. well qc itu bukan baru sekarang ko.. dri dulu jaman2 pemilihan lain.. seperti pilkada dsb.. hasil akhir ga jauh beda sama yg qc.. itu jaman qc belum ditunggangi (menurut saya) so kyk yg sekarang pun ga jauh dari situ.. soal baru skrg.. hasil qc beda.. ini bisa di goyang.. misal membawa hasil ke mahkamah krn ga terima kalah.. atw nuduh kpu curang krn merasa udh menang jadi balik kalah.. war still goes on.. kocak ah

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama