Skripsi No, Penelitian Yes


Di tengah-tengah acara launching Jurnal Inklusi yang diterbitkan Pusat Layanan Difabel, saya mendapatkan pertanyaan menarik dari salah seorang peserta. Saya tak perlu menyebut apakah ia dosen, peneliti, atau mahasiswa, tetapi ia salah satu dari warga 'kelas akademik' ini. "Pak, tulisan yang diterima di Jurnal Inklusi berupa hasil penelitian lapangan atau opini?"

Terus terang saya sudah lama membaca samar-samar gejala kerancuan di kalangan warga kampus tentang hakikat "tulisan ilmiah". Pertanyaan tadi seolah-olah mengkategorikan tulisan 'ilmiah' itu ada dua: pertama, tulisan opini; kedua, tulisan hasil penelitian.

Dalam kesempatan lain, saya juga pernah bertemu dengan kolega yang punya kebingungan semisal. Waktu itu kami bicara soal  frasa penelitian dan publikasi ilmiah  untuk sebuah lembaga di kampus. Saya bilang, "Frasa itu hanya berguna dalam nomenklatur proposal dan anggaran; secara substansi penelitan dan publikasi ilmiah  itu TIDAK MUNGKIN dipisah." 

Ia bingung dengan pernyataan saya, "kenapa? bukankah kita bisa mempublikasikan tulisan hasil pikiran kita" Wah, ini juga menarik. Ada dua istilah yang menurut saya sih semisal: opini dan hasil pikiran. Artinya, menurut kedua orang tersebut, kita bisa menghasilkan begitu saja sebuah tulisan dari pikiran kita!

Tentu saja bisa. Puisi, cerpen, novel, dan lain-lain bisa lahir dari pikiran kita. Tetapi kita pasti sepakat jenis-jenis tulisan itu tidak ilmiah alias fiktif. Dosen boleh menulis karya fiktif tetapi tidak untuk dimuat di jurnal. Mahasiswa juga boleh, tetapi tidak untuk menjadi skripsi!

Menurut saya, frasa penelitian dan publikasi ilmiah itu hanya berbeda sebagai urutan pekerjaan, tidak sebagai dua hal yang terpisah. Dalam definis 'karya ilmiah' itu selalu ada penelitian lalu publikasi.

Sebab kalau kita melakukan penelitian dan tidak dipublikasikan ya buat apa? Mubadzir waktu dan anggaran! Kalau mengaku 'publikasi ilmiah' tetapi tidak dari penelitian, dimana ilmiahnya?"

Nah, dua peristiwa itu menarik bagi saya. Kalau para akademisi masih berpikiran adanya sebuah  publikasi ilmiah yang tidak berdasarkan penelitian, maka jangan harap kita punya penelitian yang benar-benar penelitian dalam arti dan fungsinya.

Apakah opini tidak ilmiah? Opini lahir dari pikiran spekulatif dan reflektif. Opini itu kurang lebih sama dengan khutbah. Ia punya wilayah kebenarannya sendiri, punya fungsi kebenarannya sendiri. Opini bisa saja benar dan bahkan terbukti secara ilmiah, tetapi selama ia didasarkan pada spekulasi, tak bisa diverifikasi metodenya, tak bisa dibuktikan datanya, dan semata-mata mengandalkan refleksi pribadinya... maka ia bukan karya ilmiah.

Seorang paranormal atau kyai ladunni bisa saja mengatakan mengatakan, "Menurut saya, Jokowi nanti akan terpilih sebagai presiden". Tetapi, berbeda dengan pernyataan lembaga survei yang jelas metode dan datanya, paranormal tidak bisa menyajikan keduanya. Ya... pokoknya begitulah menurutnya.

***
Karena itu, Anda juga tidak perlu menulis skripsi seperti paranormal. Sebagai karya akademik, tugas pertama kita adalah melakukan penelitian, yang artinya mencari data untuk membuktikan bahwa apa yang kita tulis not out of the blue! Kalau kita sudah penelitian, skripsi akan jadi sendiri -- sederhanyanya begitu. Jadi? skripsi no! penelitian yes!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama