Catatan Ramadhan (23): Miskin

Dalam bahasa para juru agama kita, kemiskinan sering dipandang dalam konteks masa lalu. Kemiskinan penduduk Mekah menjadi ukuran kemiskinan lintas abad dan tempat. Sehingga kosakata 'faqir' dan 'miskin' yang muncul di dalam al-Quran kurang bisa menemukan greget sosialnya. Atau, ajaran-ajaran yang terkait kemiskinan gagal ditangkap pesannya dan terjebak dalam kosakata abad 7-10 masehi.

Kita bisa menggunakan logika sederhana saja: karakter miskin zaman Belanda dan zaman kita saja berbeda; atau antara kemiskinan di Jakarta dan di pelosok Papua juga berbeda; maka bagaimana mungkin kemiskinan di benua Arab lima belas abad yang lalu sama dengan zaman kita?
Baik penyebab maupun indikator kemiskinan telah berubah-ubah sepanjang masa.

Dalam studi kemiskinan mutakhir, setidaknya ada dua teori utama mengenai penyebab kemiskinan: personal dan struktural. Pandangan pertama menyalahkan individu yang dianggap gagal untuk membuat dirinya kaya. Pandangan kedua menyalahkan struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil.

Tetapi tafsir teks agama sering melihat kemiskinan sebagai takdir, atau ujian dari Tuhan yang harus diterima dengan sabar. Karena cara pandang yang demikian, tidak ada yang perlu disalahkan. Karena Tuhan yang membuatnya miskin jelas tidak punya niat buruk. Tuhan memberi miskin dan kaya untuk menguji dan yang lulus ujian akan mendapatkan surga-Nya.

Oleh sebab itu, orang miskin dikasihani. Jangan mencela mereka. Berilah orang yang meminta-minta secara santun. Karena dalam hartamu ada harta mereka. Dan seterusnya. Tidak ada kata pemberdayaan atau pengentasan kemiskinan dalam teks tafsir agama kita.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan pandangan itu di masanya. Tetapi, ada tiga akibat dari cara pandang yang 'charity' itu: (1) Tidak mengarah kepada terwujudnya keadilan sosial yang justru merupakan ajaran utama agama; (2) Membiarkan negara lepas dari tanggung jawabnya; (3) Membuat kita menutup mata bahwa sebagian dari kemiskinan adalah produk struktur sosial yang zalim. Misalnya, oleh struktur gaji yang tidak adil, rekruitmen pegawai yang nepotis, atau kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis dan gender tertentu.

Masyarakat di zaman Nabi memiliki struktur yang sederhana. Tanpa struktur negara modem yang mengendalikan warga dari lahir hingga mati, dari akta kelahiran hingga akta kematian. Demikan juga dengan sistem ekonomi yang tidak semassif dan sekompleks sekarang.   

Menerjemahkan teks agama dengan mengabaikan kompleksitas sosial dan ekonomi modern bisa membunuh ruh keadilan sosial yang menjadi missi para Nabi.

Catatan ini bisa kita gunakan untuk membaca ulang berbagai bab Fiqih. Misalnya, Fiqih zakat fitrah, yang hanya segelintir ulama saja yang membolehkan berzakat fitrah dengan uang.

Apakah masih relevan jika kita bersikukuh menafsirkan zakat fitrah dengan zakat yang berupa makanan pokok sejumlah 2,75 kg? Apakah tidak lebih tepat jika kita berikan saja uang sehingga si miskin bisa lebih fleksibel menggunakan fitrah? Bukankah tujuannya adalah menggembirakan fakir miskin di hari yang semua orang mestinya bergembira dan bukan soal ia memiliki beras untuk dimakan hari itu?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama