Catatan Ramadhan (4): Iman

Kita tahu benar bahwa Puasa Ramadhan hanya diperintahkan kepada "orang yang beriman". Mukhatab (audiens) dalam Surat al-Baqarah sangat jelas: "Hai orang-orang yang beriman". Tetapi, saya sesungguhnya bingung: siapakah orang yang beriman itu? Adakah ayat itu menyapa saya atau tidak?

Sejak kecil kita diajari bahwa untuk menjadi orang yang beriman, kita harus percaya kepada enam perkara: (1) Allah, (2) Malaikat, (3) Kitab Suci, (4) Para Nabi, (5) Kiamat, dan (6) Qadla-Qadar. Saya tahu bahwa ini iman versi ahl Sunnah, oleh sebab itu apakah dengan mengaku bahwa kita percaya kepada enam perkara pokok ini, selesai sudah urusan?

Tampaknya tidak. Karena iman tak pernah berhenti di pokoknya, iman itu harus segera menyebar ke dahan dan ranting, pohon, dan kebun... basah semua :D
Hadits-hadits tentang cabang iman menunjukkan bahwa iman lebih dari sekedar rukun iman yang enam itu!

Iman adalah bab yang sesungguhnya lebih rumit dari enam perkara yang disebut sebagai "rukun iman". kalau kita melihat ke daftar index yang dicantumkan dalam Kitab Fathurrahman, entri أمن dan turunannya adalah entri yang paling banyak dibicarakan dalam al-Qur'an, menyita sekitar 7 halaman Fathurrahman. Bandingkan dengan kata سلم yang menjadi akar kata Islam-Muslim yang hanya 1,5 halaman. Artinya, masalah keimanan jauh lebih penting daripada masalah keislaman.

Iman itu tidak hanya di lisan. (al-Baqarah:8)
ومن الناس من يقول آمنا بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين * يخادعون الله والذين آمنوا، وما يخدعون إلا أنفسهم وما يشعرون

Tidak hanya menjadi perbuatan (al-Nisa: 142)
 إن المنافقين يخادعون الله وهو خادعهم وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى يراءون الناس، ولا يذكرون الله إلا قليلا

Dan tidak pula keyakinan semata (al-Naml:14)
وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلماً وعلواً

Kalau kita perhatikan dari ketiga ayat tersebut, ada yang membatalkan iman dari masing-masing segi: pertama, iman yang di lisan batal karena iman yang seperti itu hanya menipu Allah --padahal Allah tak bisa ditipu.

Iman yang berwujud perbuatan batal ketika perbuatan itu tidak disertai dzikir kepada Allah --tujuannya pun hanya pamer.

Sedangkan iman yang berupaya keyakinan
 bisa batal kalau keyakinan itu ternoda oleh kesombongan dan kezaliman.

Iman memerlukan kepaduan ketiganya secara utuh dan tak ternoda, sehingga memancarlah iman itu dari dalam diri kita dan terasa oleh mereka yang ada di sekitar kita, manusia dan alam tanpa terkecuali.

Nah, kalau kita kembalikan kepada ayat-ayat puasa, maka kita pantas bertanya, "Apakah mungkin puasa kita berhasil jika kita sesungguhnya adalah orang yang bahkan tidak layak dipanggil 'beriman'?" Saya kira, di sinilah rahasianya mengapa berkali-kali puasa namun efek 'taqwa' itu tak kunjung kita dapatkan.

Catatan:
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Yusuf Qaradawi di laman berikut:
http://www.qaradawi.net/library/54/2615.html

1 Komentar

  1. thofa.page.tl7/15/2013 8:55 AM

    Trims tausiyahnya. Dengan pemahaman ini, maka tidak akan ada pernyataan: "orang beriman kok berbuat maksiat..."

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama