Catatan Ramadhan (19): Nuzulul Quran di Langgar Kami

Pak Syam berdiri menunggu pengajian dimulai...

Semalam, untuk pertama kalinya dalam sejarah langgar kecil samping rumah, kami 'merayakan' Nuzulul Qur'an. Ah, jangan membayangkan perayaan itu seperti di Istiqlal atau Istana Negara, atau bahkan jangan dibandingkan dengan Masjid di tempat Anda, pembaca. Kami hanya punya langgar kecil, paling juga hanya ada 20 KK yang menjadi 'wilayah' langgar kami.

Tetapi, bagi Pak Syamsudi, Mas Giyanto, dan beberapa orang yang dari dua malam sebelumnya sibuk mempersiapkan segalanya, mulai dari menata lampu, pinjam terpal dan tikar, hingga menyiapkan sound-system gedhe seperti mantu, perayaan Nuzulul Qur'an semalam sudah menjadi kebanggaan tersendiri: Langgar kami lebih meriah daripada Masjid Jami' di dukuh kami yang Nuzulul Qurannya sepi-sepi saja (tanpa perayaan dan diisi kulsum, kuliah sepuluh menit, oleh salah satu tokoh lokal). 250 orang di sekitar kampung datang di acara itu.

Orang-orang sederhana seperti Pak Syamsudi (pengumpul sampah di lingkungan kami) dan Mas Giyanto (tukang jahit dompet untuk sebuah indutri rumahan di kota Jogja) telah lama menjadi tulang punggung langgar kami. Merekalah yang menjadi sumber prakarsa dan sekaligus kerja di langgar.

Cara kerja mereka juga sederhana saja. Tak perlu banyak rapat, tetapi langsung kerja gotong royong. Saat acara ini hendak diselenggarakan, salah seorang tokoh langgar mengusulkan ke Mas Giyanto, "Coba buat proposal, nanti biar bisa dapat dana." Dengan lugu Mas Giyanto menjawab, "Wah, mboten nyandak pikiran kulo nek ken nggawe proposal..." Saya pun segera menimpali, "Ya. Saya setuju, ndak usah proposal. Sowan saja ke orang-orang dan bilang mau menyelenggarakan pengajian dan butuh dana berapa."

Proposal itu terlalu formal dan kami ini toh tidak punya hubungan struktural apa pun. Biasanya, untuk keperluan apa pun, mulai dari renovasio langgar sampai kerja bakti jelang Ramadhan, Pak Syamsudi hanya bilang ke saya dan saya pun mendukung acara itu secara materiil tanpa pernah meminta kwitansi dan LPJ.

Saya sangat menghormati Pak Syamsudi karena lewat dialah sebenarnya 'tenaga' langgar ini bergerak, tanpa organisasi dan struktur takmir. Saya bukan ketua takmir. Pak Syamsudi juga bukan orang yang diangkat menjadi salah satu ketua bagian. Mas Giyanto, yang membawa uang langgar, juga bukan bendahara. Kalau saja ada akreditasi tempat ibadah dari Kemenag, langgar kami pasti tak terakreditasi :)

Kekuatan kultural dalam kasus langgar kami sangat kontras dengan Masjid Jami' di kampung kami yang mati. Saya tidak perlu cerita detail tentang masalah di Masjid itu, tetapi jelas masyarakat di kampung kami tak pernah bisa membanggakannya sebagai masjid jami'. Contohnya ya kasus peringatan Nuzulul Qur'an ini. Kerinduan memiliki syiar keagamaan di kampung akhirnya ditumpahkan saja di langgar karena Masjid Jami' tak bisa mengobatinya.

Acara pengajian yang mengundang salah satu dai terkenal dari kota Jogja tadi malam cukup berhasil. Saya melihat wajah-wajah bahagia di mata dan senyum kawan-kawan yang sedang kerja bakti beres-beres. Pak Syamsudi mendekati saya dan bilang, "Sukses bos. Iki malah bathi je." Saya bukan bos, tapi Pak Syamsudi suka-suka saja memanggil saya dengan berbagai cara: juragan, kyaine, atau bos. "Uang yang terkumpul 600 ribu, untuk snack 450 ribu."  begitu caranya melaporkan keuangan, tidak dengan LPJ. "Lha ustadz'e?" tanya saya. "Wis diberesi karo juragane," jawabnya sambil senyum dan melirik Pak Taufiq, salah satu warga baru di lingkungan langgar, yang duduk di samping saya.

Secara isi dan substansi, mungkin tidak banyak yang bisa kita harapkan dari seremoni pengajian semisal ini. Tetapi kekuatan acara perayaan keagamaan memang tidak terletak pada pengetahuan keagamaan yang ditransfer sang dai, melainkan pada aspek pembangunan identitas, rasa keanggotaan kepada jamaah, kerukunan, kekompakan, dan elemen-elemen perekat komuntas yang lain.

Pak Taufiq berbisik kepada saya, "Pak, kesuksesan malam ini harus kita lanjutkan ya. Besok-besok pas hari-hari besar Islam kita rayakan lagi." Tentu saja saya menjawab, "Ya!" dan jangan dengarkan kritik mereka yang masih sibuk mendebat apakah acara semacam Maulid Nabi itu bid'ah!

Tamanan, menjelang Maghrib.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama