Catatan Ramadhan (16): Perempuan Masjid

Apa jadinya kalau masjid-masjid kita tanpa perempuan?

Di masjid-masjid sekitar kampung saya, barisan shalat perempuan biasanya lebih banyak daripada laki-laki. Meski mereka selalu terpinggirkan secara 'arsitektur', dengan mengisi ruang belakang atau separuh lebih kecil dari ruang yang disediakan untuk jamaah laki-laki, mereka adalah peserta ibadah yang dominan.

Saat mengisi pengajian, di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan, peserta perempuan juga selalu lebih banyak daripada laki-laki. Di Masjid Margorahayu Grojogan, saya bisa menghitung, jumlah mereka bisa dua 2-3 kali lipat dari jumlah peserta laki-laki. Demikian juga di langgar yang ada di kampung sebelahnya, jumlah laki-laki yang ikut pengajian tak pernah sebanding dengan jumlah perempuan.

Kalau bicara soal buka bersama di masjid, kira-kira siapakah yang paling sibuk? Saya masih ingat, dulu, dulu sekali, di Solo, baik saat saya tinggal di Masjid at-Taqwa Grobakan maupun di Langgar Muslimin Sriwedari, ibu-ibulah yang menjadi tulang punggung penyelenggaraan acara buka bersama. Mereka datang pertama, pulang terakhir. Jam 16:30 mereka sudah berdatangan ke masjid, menyiapkan ubo rampe bukber; jam 18:30 mereka baru pulang setelah mencuci gelas dan piring bareng-bareng. 

Hal yang tidak akan pernah saya lupa: ibu-ibu dan mbak-mbak itu selalu menyisihkan nasi, lauk-pauk, dan kolak untuk makan sahur saya dan dua orang teman penjaga masjid lainnya. Bagi kami, penjaga masjid, Ramadhan benar-benar bulan penuh berkat (makanan berlimpah, gizi tambah, tak perlu keluar uang belanja dan tenaga untuk masak).

Semua hal itu segera terlintas di benak saya ketika seorang pendengar Dialog Ramadhan di Radio Sonora FM menanyakan, "Pak, katanya ada Hadits yang mengatakan bahwa shalat perempuan di rumah itu lebih utama daripada di Masjid ya?"

Nah! Kalau semua perempuan menerima mentah-mentah tafsir laki-laki, dan bukan teks verbatim Hadits yang berbunyi sebagai berikut di bawah, habislah semua bayangan indah saya tentang para perempuan masjid tadi!

Ada tiga redaksi Hadits yang perlu kita cermati kata perkatanya dan kemudian kita lihat perbedaannya, atau penyimpangan maknanya karena intervensi tafsir patriarki. Saya ambilkan dari koleksi kitab Nail al-Authar sebagai berikut:
1036
 (  ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { إذا استأذنكم نساؤكم بالليل إلى المسجد فأذنوا لهن } رواه الجماعة إلا ابن ماجه . وفي لفظ : { لا تمنعوا النساء أن يخرجن إلى المساجد وبيوتهن خير لهن } رواه أحمد وأبو داود )
1037
. وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { لا تمنعوا إماء الله مساجد الله ، وليخرجن تفلا } رواه أحمد وأبو داود ) 

Ketiga redaksi Hadits tersebut sesungguhnya memuat pesan pokok yang sama: jangan larang perempuan pergi ke masjid! 

Di dalam redaksi Hadits yang pertama (diriwayatkan oleh lima ahli Hadits), larangan itu tidak disertai pesan apa pun. Kalau kita perhatikan konteksnya, pernyataan Nabi itu tampaknya sebagai respon terhadap para suami dan pemilik budak yang melarang istri atau budak mereka pergi ke masjid. Nabi justru ingin menghentikan praktik diskriminatif ini.

Hadits kedua dan ketiga (yang diriwayatkan secara terbatas oleh Ahmad dan Abu Dawud), redaksinya bertambah: yang satu mengatakan 'rumah lebih utama daripada masjid', yang satu 'kalau ke masjid jangan berdandan berlebihan'. Jadi, ada apa dengan tambahan ini dan mengapa hanya dua rawi yang memiliki redaksi tambahan? Di sinilah intervensi tafsir patriarki itu muncul.

Maka, jika kita mengikuti saja pokok Hadits itu, Nabi justu mendorong dan merekomendasikan perempuan untuk pergi ke masjid. Wajar saja dalam Islam jika para ulama khawatir akan efek 'fitnah' kehadiran perempuan di masjid. Tetapi, sekali lagi, itu bukan kekhawatiran Nabi. Mengapa Nabi sendiri tidak khawatir? Buktinya adalah pernyataan Aisyah yang, entah melihat kejadian apa saat perempuan di masjid, mengatakan:

وعن يحيى بن سعيد عن عمرة عن عائشة قالت : لو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى من النساء ما رأينا لمنعهن من المسجد كما منعت بنو إسرائيل نساءهم ، قلت لعمرة : أو منعت بنو إسرائيل نساءها ؟ قالت : نعم . متفق عليه

Apa yang bisa kita pahami dari pernyataan Aisyah adalah beliau menyesali mengapa Nabi membolehkan perempuan ke masjid dan tidak melarang mereka seperti perempuan Yahudi.

Bunda Aisyah boleh saja berpendapat demikian karena melihat fitnah perempuan di masjid di zamannya. Tetapi, sekali lagi Nabi tidak melarang dan kita sendiri menyaksikan bahwa di zaman kita perempuan ke masjid justru berdampak positif bagi masjid dan perempuan sendiri.

Mengapa tidak kita tafsirkan saja bahwa Nabi justru berfikir melampaui Aisyah dan melampaui zamannya?

Kantor PLD UIN, 16 Ramadhan 1434 H

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama