Catatan Ramadhan (14): Menulis Khutbah dan Menulis Ilmiah

KipSemula, judul tulisan saya adalah menulis khutbah vs menulis ilmiah. Karena pakem penulisan keduanya yang berbeda dan karena banyak kolega dosen yang sering tidak bisa membedakan antara keduanya, maka kata 'versus' bisa membantu mengklarifikasi perbedaan mendasar itu. Tetapi, teringat teori non-dikotomis Jasser Auda, saya ambil kata 'dan'. Dua tulisan itu tidak perlu dipertentangkan dilihat dari tujuan akhirnya: memberi manfaat bagi pembaca.

Saya berikan contoh sebuah kalimat khutbah: Kalau bangsa Indonesia beriman dan bertaqwa, maka negeri ini akan makmur sentosa.

Apakah kalimat itu benar? Di mimbar khutbah, tentu saja benar. Dasarnya? Khatib dengan yakin bisa menyebut Surat. Ayat.

Tetapi, secara ilmiah, pernyataan itu sulit dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi syarat pokok ilmiah 'bisa diverifikasi'. Negara mana yang sudah membuktikan? Seberapa valid negara itu untuk bisa menjadi sample atau kasus. Dst!

Pernyataan ilmiah juga menuntut kita untuk menkualifikasi secara detil setiap unsur premis kita: apa yang dimaksud iman, taqwa, makmur-sentosa. Sebab, boleh jadi, kata-kata kunci itu berbeda makna dalam benak penulis satu dan lainnnya.

Tulisan ilmiah berjenis argumentasi. Ia dibangun untuk menyampaikan pendapat penulis dengan bukti-bukti yang mengokohkan argumennya. Setiap pernyataan dipertanggungjawabkan dasarnya, datanya, referensinya agar topang menopang menjadi bukti.

Tulisan khutbah berjenis persuasi. Tujuannya menghimbau pembaca untuk berubah ke keadaan yang diinginkan penulis. Penulis bebas menggunakan berbagai cara untuk mengubah pembaca, mau pakai anekdot, dongeng, mitos, cerita yang ia karang sendiri,  apapun. Validitas tidak penting, karena logis, retoris, bahkan metaforis saja sudah cukup.

Kalaupun ada bukti ilmiah, data faktual, dan empiris, tulisan khutbah hanya menggunakannya sebagai instrumen persuasif, bukan argumentatif. Ini penting untuk mengingatkan mereka yang ingin mengilmiahkan al-Quran.

Al-Quran itu kitab suci. Bahasanya bahasa sastra tingkat tinggi. Tujuannya persuasi. Kalaupun ia tampak berbicara tentang kejadian ilmiah tertentu, pertama-tama bacalah sebagai metafor, dalam konteks kalimat sastra,  dan motif persuasi. Mungkin saja kalimat itu kebetulan cocok dengan teori fisika tertentu, tapi jangan terlalu bernafsu mengatakan al-Quran itu ilmiah. It is after all a book of literature! Bukan publikasi jurnal ilmiah!


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama