Kisah Theklek dan Kehormatan

Made by Mbah Arso

Saya berhenti untuk membeli theklek yang dijual lelaki renta itu bukan karena rasa kasihan. Ia yang berjalan pun sudah tertatih-tatih tak terlihat membutuhkan rasa iba. Sebaliknya, ia tengah menceritakan sebuah kehormatan: sampai kapan pun, rizki yang halal harus dicari dengan penuh martabat. Tidak perlu mengemis karena menganggur. Tak perlu mencuri karena lapar. Tak perlu korupsi demi memenuhi selera hidup yang tinggi. Tak perlu berhenti walau usia sudah senja sekali.

"92 taun!" Mbah Arso Dimedjo menjawab cepat pertanyaan saya, seperti peserta cerdas-cermat yang tahu menebak arah soal dewan juri. Mungkin karena saya bukan penanya pertama. Mungkin karena setiap orang yang bertemu kagum dengan kesepuhannya.  Di usia se-senja itu, siapa pun wajib heran bila menjumpa Mbah Arso sedang memanggul dagangannya di Jalan Veteran Yogyakarta.

"Sampun sepuh sanget nggih. Ndaleme pundi mbah?" Tanya saya. Ia menjawab dengan jelas: berasal dari Jatimulyo, Dlingo, Bantul. Dlingo terletak di kawasan timur Jogja yang berbukit-bukit, sederet dengan bukit-bukit Imogiri tempat makam para raja Jawa. Di Jogja, ia tinggal di Rejowinangun, di rumah seseorang yang namanya ia sebutkan seperti nama orang terkenal dan tak bisa saya ingat.


"Wiwit napa njenengan le sadeyan?" Tanya saya sambil melihat-lihat dagangan yang dipikulnya: theklek, kursi kayu dan talenan. Semua benda yang sepertinya ia buat sendiri dengan tangan-tangannya.

"Kawit umur 19 tahun kulo pun mikul niki!" Jawab mbah Arso. Dulu, saat ia muda, pasti kayu-kayu itu  mudah saja ia haluskan dengan tangan-tangan perkasanya. Tapi kini, ia tak lagi kuasa. Kayu jati dan waru itu  terlihat kasar. Meninggalkan jejak yang jelas betapa tangan renta Mbah Arso tak lagi kuasa menghaluskannya. Kalau kita ingin mencari barang yang bagus, kita mungkin batal membelinya.

Tetapi, sekali lagi, saya membeli juga bukan karena kasihan yang tak ia butuhkan. Mbah Arso menjaga kehormatan dengan tetap menghidupi diri tanpa meminta-minta. Saya membeli karena ingin menghormati orang yang menjaga martabatnya itu.

"Thekleke pinten regine, mbah?" Tanya saya sekali lagi. "Sing jati 20 ewu; sing waru 15 ewu" Jawabnya dengan mimik serius. Saya tatap wajahnya, kulit yang berkerut dan beberapa gigi yang tersisa. Terbersit tanda tanya, apa saya nanti bisa berumur sepanjang dia?

"Adate, sedinten pajeng pinten mbah?" Sambil saya serahkan uang 20 ribu untuk sepasang theklek yang saya pilih. "Nggih mboten mesti," jawabnya, kali ini sambil tersenyum. Seolah menertawakan pertanyaan saya yang terdengar terlalu berhitung soal rizki. "Nate... mboten pajeng babar pisan?" Saya kejar senyumannya itu. "Nate kemawon. Dhek kapan nika, telung ndino malah le mboten pajeng." Tiga hari berturut-turut tidak laku sama sekali? Bagaimana dia makan?

"Nanging Gusti-alah niku welas." lanjutnya segera, seolah-olah ia juga tahu apa yang saya tanyakan di dalam hati. "Nek mboten angsal duit, nggeh taksih angsal mangan." Menurut pengalamanya, uang mungkin tidak didapatkan; tetapi soal makan, ia tak pernah kekurangan. Selalu saja ada orang yang memberi, walau ia tak pernah minta. Menurutnya Gusti Allah sangat pengasih, tak akan membiarkan dirinya kelaparan.

"Mbah, napa mboten nate mriang?" Sakit. Itu yang segera muncul di benak. Kalau dihitung-hitung, kesehatan itu mahal sekali. Sakit flu dan demam saja bisa merepotkan kita. Teringat kesehatan bapak saya di rumah, di Blitar, maka saya tanyakan kesehatan Mbah Arso. "Nggih sakit. Sakit niku sandangane tiyang gesang." Sakit adalah "pakaian" orang hidup.

Saya melihat mbah Arso di Jalan Veteran itu sudah dua kali. Tetapi yang pertama dulu saya tidak sempat berhenti karena terburu jam jemput anak-anak. Tadi pun, saya nyaris melewatinya dan harus memutar balik sepeda motor saya sekitar 20 meter. Tidak tahu mengapa, saya bahagia sekali bisa berbicara banyak dengan Mbah Arso Dimedjo, sang penjual theklek yang penuh kehormatan tanpa harus menjadi "anggota ... yang terhormat".

Sebelum saya pergi, saya minta izin mengambil gambarnya. Tak lupa saya ucapkan terimakasih, "Mugi panjenengan diparingi panjang umur lan kesehatan nggih mbah." Sambil saya tepuk lengan rentanya yang gelap terbakar matahari. Entah, apa besok kami masih bisa berjumpa lagi.



4 Komentar

  1. pelajaran berharga pak,trimaksih

    BalasHapus
  2. terimakasih sudah membaca, terimkasih para jempoler

    BalasHapus
  3. Cerita yang sangat menyentuh, Pak. Terima kasih atas inspirasinya.

    BalasHapus
  4. Terimakasih Pak, saya juga penggemar tulisan pak Ngainun

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama