Menulis tentang plagiarisme tetapi njiplak juga... (2)

Menanggapi teman-teman yang menanyakan bagaimana saya mengkategorikan karya Ninok -- walaupun sudah menyebut sumber di awal artikel -- itu sebagai plagiarisme, jawaban saya adalah:

Pertama, proporsi IHT dalam tulisan itu sangat besar (lebih dari sepertiga) (lihat aturan fair use tentang berapa banyak Anda boleh memuat karya orang lain dalam tulisan Anda).

Kedua, bukannya mengutip dengan bahasa dan poin-poin yang meringkas dan mempertegas siapa pemilik poin-poin itu, Ninok justru mengaburkannya dengan tidak mengutip lagi sumbernya dan dengan menyelipi pandangan tambahan (ada yang diawal alinea, ada yang di tengah).

Ketiga, sebagain besar, artikel Inggris itu diterjemahkan, bukan dikutip, dan dengan bahasa terjemahan yang masih sangat kaku (atau yang saya sebut masih terasa 'sangat inggris).

Perbandingan Tulisan Ninok dan NYT

Dalam tabel berikut, sebelah kiri adalah tulisan Ninok dan sebelah kanan adalah tulisan Trip Gabriel di New York Times (yang dimuat ulang oleh International Herald Tribune)



And at the University of Maryland, a student reprimanded for copying from Wikipedia in a paper on  the Great Depression said he thought its entries — unsigned and collectively written — did not need to be credited since they counted, essentially, as common knowledgeAda juga mahasiswa lain yang sampai harus dimarahi karena mengopi dari Wikipedia untuk tugas membuat karya tulis tentang Depresi Besar. Ia berkilah, entri yang ia ambil tidak bernama dan ditulis secara kolektif, dan oleh karena itu, ia berpandangan tidak
perlu dikredit karena—pada dasarnya—itu merupakan pengetahuan umum.
Pada masa lalu para guru dan dosen
pembimbing, bukan hanya di universitas Amerika, melainkan juga di Indonesia, mengingatkan mahasiswa agar memberi kredit pada sumber
yang ia kutip, mengikuti tata cara pengutipan, guna menghindari plagiarisme.
Professors used to deal with plagiarism by admonishing students to give credit to others and to follow the style guide for citations, and pretty much left it at that.
Konsep hak kekayaan intelektual, hak cipta, dan orisinalitas di era internet kini cenderung tidak diakui. Tersedianya fasilitas copy dan paste di internet memang telah memudahkan pekerjaan. Tetapi, yang lebih jauh adalah internet juga telah meredefinisi bagaimana mahasiswa—yang hidup pada era berbagi file musik, Wikipedia, dan pencantolan web—memahami konsep menghasilkan karya (authorship) dan singularitas setiap teks atau gambar (image).
Digital technology makes copying and pasting easy, of course. But that is the least of it. The Internet may also be redefining how students — who came of
age with music file-sharing, Wikipedia and Web-linking — understand the concept of authorship and
the singularity of any text or image.

Pengamatan Teresa Fishman, Direktur Pusat Integritas Akademik di Clemson University, South Carolina, menyebutkan bahwa kini ada generasi mahasiswa yang tumbuh dengan informasi yang tampaknya terhampar di jagat siber dan kelihatannya tanpa pengarang. Ia,  seperti dikutip Gabriel, menambahkan, banyak yang menganut pandangan bahwa informasi itu ada di sana untuk dimanfaatkan.

“Now we have a whole generation of students who’ve grown up with information that just seems to be hanging out there in cyberspace and doesn’t seem to have an author,” said Teresa Fishman, director of the Center for Academic Integrity at Clemson University. “It’s possible to believe this information is just out there for anyone to take.”
Berdasarkan survei, apabila pada awal dasawarsa ini
persentase yang menganggap mengopi dari web merupakan ”penyontekan serius” adalah 34 persen, kini angka tersebut sudah menurun jadi 29 persen.

In surveys from 2006 to 2010 by Donald L. McCabe, a co-founder of the Center for Academic Integrity and a business professor at Rutgers University, about 40 percent of 14,000 undergraduates admitted to copying a few sentences in written assignments. Perhaps more significant, the number  who believed that copying from the Web
constitutes “serious cheating” is  declining — to 29 percent on average in recent surveys from 34 percent earlier in the decade.
Pada zaman online, ”Semua bisa jadi milik Anda, dengan mudah,” ujar Sarah Brookover, mahasiswa senior di Rutgers University. Ia membandingkan itu dengan zaman perpustakaan yang penuh dengan rak buku. Dengan menyusuri rak-rak buku, dan mencari
buku yang diperlukan, mahasiswa bisa lebih enyadari bahwa apa yang ada di buku tadi ”bukan miliknya”.

Ms. Brookover, who works at the campus library, has pondered the differences between researching in the stacks and online. “Because you’re not walking into a library, you’re not physically holding the article, which takes you closer to ‘this doesn’t belong to me,’ ” she said. Online, “everything can belong to you
really easily.”

1 Komentar

  1. keren amatannya bro...
    saya jadi tahu ttg masalah ini. Jadi sebaiknya bagaimana bro kalau mau mengutip dari koran asing ditulis ulang atau diterjemahkanya.
    sory bukan pelaku media.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama