Menulis tentang plagiarisme tetapi njiplak juga...

Sewaktu pertama kali membaca artikel Ninok Leksono di Kompas, ada sebuah alinea yang membuat saya curiga: 
Tetapi, yang lebih jauh adalah internet juga telah meredefinisi bagaimana mahasiswa—yang hidup pada era berbagi file musik, Wikipedia, dan pencantolan web—memahami konsep menghasilkan karya (authorship) dan singularitas setiap teks atau gambar (image).
Kata 'meredefinisi', 'berbagi file musik', 'pencantolan web', 'singularitas', adalah kata-kata yang 'sangat inggris' dan tidak terdengar 'alami' dalam ekspresi bahasa Indonesia. Saya curiga, kalimat ini tidak orisinil!

Hari ini, saya menemukan jawabannya: Ninok memang hanya menerjemahkan laporan International Herald Tribune! Ia memang menyebut IHT di awal tulisan, tetapi pada banyak alinea, dia hanya menerjemahkan saja bukan membuat kutipan-komprehensif. Bandingkan alinea di atas dengan ini:
The Internet may also be redefining how students — who came of age with music file-sharing, Wikipedia and Web-linking — understand the concept of authorship and the singularity of any text or image.  

Saya tidak tahu standar kerja wartawan, tetapi dalam dunia akademik, Ninok telah menjiplak karena sebuah kutipan penuh mestinya menggunakan kutipan langsung dan diberikan kredit tentang sumbernya.

Kasus plagiarisme di the Jakarta Post beberapa waktu yang lalu juga bukan plagiarisme murni sebenarnya. Si professor pada dasarnya mengambil gagasan/teori dari buku lain, dan ia menerapkan teori itu untuk kasus Indonesia tanpa menyebutkan siapa pemilik teori dan istilah itu. Kalau kita bandingkan artikelnya di Jakarta Post dan artikel asli, sudah banyak sekali perubahan yang ia lakukan, lebih banyak dari Ninok.

Jadi, ini ironi, tulisan tentang plagiarisme malah memplagiat dari koran lain.

Selengkapnya:

1 Komentar

  1. hahahah... itu namanya creative plagiarism heheh
    salam kenal bro
    saya dari kompasiana langsung kemari

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama