Saya tiba di Incheon pagi hari, dan segera meluncur ke hotel tempat saya menginap di tengah kabut tebal yang meliputi kota pelabuhan itu. Tak banyak yang saya lihat karena pekatnya kabut, tetapi begitu siang menjelang saya sempatkan berjalan-jalan di sekitar hotel.
Dalam benak saya Korea adalah negara Budhis, tetapi saya benar-benar heran bahwa di sana-sini yang saya jumpai justru salib-salib yang bertebaran di berbagai sudut kota. Kita bisa menjumpai hingga dua salib terpancang di atas satu apartemen. Korea sepertinya memiliki lebih banyak gereja daripada Amerika.
Dalam kunjungan kedua saya ke Korea, saya sempatkan ke Seoul dan sekali lagi kesan saya tentang gereja di Korea semakin jelas. Korea pasti sudah berubah menjadi negeri Kristen.
Sementara tulisan Suki ini, “It is said that South Korean missionaries will go to the ends of the Earth in search of those most unwilling to be converted” segera mengingatkan saya kepada Ju Song, salah satu diantara hanya dua teman Asia di kelas.
Saat kami memasuki tahun kedua, dia bertanya kepada saya, apakah saya seorang Muslim. Saya menjawab “ya”. Apakah saya a practicing Muslim, saya jawab, “tentu saja”. Setelah pertanyaan-pertanyaan itu, dia mengajukan pertanyaan yang membuat saya terkejut, “Can I convert you?” Kaget dengan pertanyaan itu, saya segera menjawab, “You can’t. I never expect to convert someone to my religion as I don’t expect someone to convert me.”
Dia tak kenal menyerah rupanya. Menjelang kelulusan kami, dia memberikan sebuah buku kecil tentang Kristen kepada saya. “I hope you can find truth here.” Hemmm… untung dia tidak bertemu Taliban ya?
Gila tu orang!
BalasHapusPosting Komentar