Saya baru saja membaca naskah ini dan menyelesaikan beberapa "teka-teki" yang ditimbulkan akibat tidak standar-nya transliterasi Arab Jawi. Naskah ini berasal dari sekitar akhir abad kesembilanbelas, judulnya qawanin al-syari'ah, karya Sayyid Uthman (1822-1913), seorang Arab-Indonesia modernis yang tinggal di Batavia.
Saya tentu saja tidak membaca teks itu untuk keperluan kuliah... Bapak saya, yang selalu menjadi rujukan handal setiap saya berhadapan dengan teks-teks agama, termasuk teks ini, sempat bertanya, "Opo awakmu ki belajar ngene iki barang tho neng kono?" (Apakah kamu juga mempelajari hal-hal begini di sana?)
Tentu saja tidak.
Teks klasik dari Batavia ini sedang dipelajari teman saya, seorang professor Amerika ahli hukum Islam Indonesia di Southwestern University (California), dan dia meminta bantuan saya untuk ikut membaca teks ini, menanyakan beberapa kata yang tak bisa ia baca. Saya salut, entoh seorang Amerika, dia berhasil membaca dengan baik lebih dari 95% karya klasik ini dan tinggal beberapa kata saja yang masih menjadi teka-teki.
Nah, saya sendiri bukan produk pesantren salafiyah. Arab pegon semacam ini termasuk barang "mewah" bagi saya.
Saya belajar Arab pegon juga bukan dari pondok, melainkan hanya dari bapak saya sendiri, a kind of "family tradition". Bila kami telah mengkhatamkan Qur'an, maka kami mulai belajar membaca kitab kuning. Bapak sayalah yang memperkenalkan Arab pegon untuk pertama kalinya lewat ngaji kitab safinatu al-najah.
Jadi, kepada bapak sayalah saya kembali (he he he, jangan sebut la haula wa la quwwata illa billah dalam hal ini).
Dari beberapa kata yang teman California saya itu tidak tahu, ada satu kata yang saya juga tak mampu membacanya. Dan di saat mentok begini, kepada siapa lagi saya bertanya...
Kata itu berupa ba'-fa'-sa'-ya-ra-waw (lihat baris ketiga dalam foto di atas). Wuah, saya terka-terka ngggak ketemu juga. Nyerah deh, au ah gellllllap. Akhirnya, saya telpon bapak saya di Blitar, lalu saya bacakan kitab itu, dan saya sampaikan kata aneh ini.
Beliau tak langsung bisa menebak, maklum kitab ini berbahasa melayu kuno, bukan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia modern. Tapi saya setuju dengan tebakan beliau. Kata ini berbunyi "be-pesero", atau yang dalam bahasa Indonesia modern menjadi "ber-persero" seperti kata "persero" dalam "perseroan terbatas" (PT).
Wah, lega. Benar kan, bapak saya memang bisa diandalkan? (he he he)
Terlepas dari semua itu. Coba kita perhatikan bagaimana lalu lintas ilmu sekarang difasilitasi teknologi. Teman saya di California, tak perlu ke kantor pos untuk mengirim teks klasik itu, yang perlu dia lakukan cuma men-scan, save in pdf and sends it to me in Seattle.
Begitu email saya buka, saya mentok, saya segera buka Skype, tekan tombol nomor telpon rumah saya di Blitar, dan kami mendiskusikan teks itu. Hanya dalam tempo kurang dari satu jam, "ilmu" bergerak dari California, ke Seattle, ke Blitar, ke Seattle, dan balik lagi ke California. Wow. Pernahkah saat kita SMA dulu membayangkan ini akan terjadi? Sekarang terserah kita... mau belajar atau tidak. Itu saja.
Posting Komentar