Catatan Ringan tentang Polemik di Republika

Beberapa waktu yang lalu, Harian Republika memuat beberapa artikel tentang pembaharuan Islam. Yang menjadi catatan saya dari membaca artikel-artikel itu adalah tidak dibahasnya dengan baik kategori “Barat” dan “Islam.”

Menurut saya, “Barat” sebenarnya tidak tunggal. Hamid Fahmi Zarkasyi (Republika, 28/12) pun memetakan Barat dalam dua mazhab besar: modernisme dan posmodernisme. Sayangnya, Hamid justru menyederhanakan rumitnya pertarungan modernisme dan postmodernisme dengan kalimat simplifikatif “Meski begitu, postmodernisme masih dianggap kelanjutan modernisme”. Barat pun lalu diidentifikasikan dengan “saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis (baca: Agama)”. Benarkah demikian?

Musim Panas lalu saya mengambil kelas statistik. Jika “Barat” memang empiris dan saintifik, saya pasti menemukan Barat di kelas ini. Tetapi bukan itu yang terjadi. Robert Pagano (1996), penulis buku statistik pegangan kami, justru mengingatkan bahwa kebenaran kuantitatif statistik hanyalah salah satu dari banyak kebenaran (epistemologis) lain yang menjadi sandaran dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari kebenaran otoritatif, pragmatik, sampai dengan kebenaran intuitif.

Pemetaan Pagano segera mengingatkan saya kepada Muhammad Abed al-Jabiri dan kritik nalar Arab-nya. Menurut al-Jabiri, tradisi intelektual Arab Muslim juga mengembangkan epistemologi-epistemologi semisal yang dipetakan Pagano. Dalam bahasa al-Jabriri, ada nalar bayani, burhani, dan irfani.

Tradisi bayani menyandarkan kebenaran pada otoritas teks seperti yang berkembang dalam Usuh Fiqh, Ushul Hadits, dan Tafsir. Nalar burhani berkembang dalam tradisi ilmu pasti dan sosial yang kebenarannya menuntut burhan (bukti), baik bukti empiris (indrawi), maupun logis. Pemikiran kedokteran Ibn Sina atau teori ashabiyyah Ibn Khaldun berkembang dalam tradisi ini. Sementara dalam nalar irfani kebenaran dicapai dengan riyadah (melatih intuisi) hingga Sang Kebenaran (al-Haq, Allah) menyingkapkan “kebenaran” kepada kita. Tradisi irfani berkembang di kalangan sufi.

Kebenaran-kebenaran tersebut di mana saja (Barat atau Timur) diacu sesuai dengan objek yang dihadapi. Masing-masing ada level dan tempatnya. Fiqh yang didominasi nalar bayani pada level tertentu memerlukan nalar burhani karena Fiqh membutuhkannya dalam Falak dan Waris. Sementara Tasawwuf yang irfani juga sangat dekat dengan penjelasan-penjelasan logis falsafi.

Di lain pihak, “Barat” yang “rasionalistik, empiris, sekuler” hanyalah “Barat” pada tingkat diskursif tertentu, yaitu sains dan teknologi yang mendominasi imaji kita tentang Barat. Tetapi wajah diskursif “Barat” lain, yang memiliki Gereja Resmi, yang menyajikan acara “Pemburu Hantu” (On the Inside: The Real Ghosthunters di Discovery Channel), yang melestarikan mitos Sinterklas, kita singkirkan.

Gallup Poll (2006), misalnya lagi, yang menunjukkan bahwa lebih banyak orang Amerika (45%) yang percaya kepada teori penciptaan manusia ala Bibel daripada teori evolusi murni ala Darwin (5%) lenyap dalam terminologi simplikatif “Barat” dan “Islam”.

Karena “Barat” dan “Timur”—terlepas dari fakta bahwa memang ada tempat yang secara geografis dan kultur berbeda (ditegaskan Edward Said di awal buku monumentalnya, Orientalism)—adalah sesuatu yang diciptakan dan Orientalisme mengukuhkan pemisahan itu untuk membenarkan dominasi Euroimperialisme, saya pesimistis dengan usulan-usulan terdahulu untuk membaca “Barat” secara kritis guna “memilih yang baik dan menolak yang tidak cocok”.

Pertama, upaya itu berarti melestarikan batas diskursif “Barat” dan “Timur”. Alih-alih melawan strategi hegemoni Orientalisme, upaya ini justru melestarikan tesis dasar Orientalisme. Edward Said sendiri sudah mengingatkan bahwa jawaban untuk Orientalisme bukan Oksidentalisme (h. 328). Sebab, kajian yang bercorak substansialis —semisal “Islam itu hakikatnya begini” dan “Barat hakikatnya begitu”— cenderung mendegradasikan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi ilmu tentang manusia dan pengalaman eksistensialnya.

Kedua, dalam kajian “post-Said”, melanjutkan kritik Said tetapi terfokus pada reaksi “Timur” dan “contact zone” (wilayah pertemuan dua kultur), hegemoni Barat sebenarnya terjadi bersamaan dengan “transkulturisasi”. Selagi pihak yang terhegemoni (Timur) tak bisa mengontrol konsep-konsep yang disebarkan oleh si hegemon (Barat), mereka sesungguhnya menentukan kadar penyerapannya (Prett, Imperial Eyes, 1992).

Artinya, dikehendaki atau tidak, “Timur” sesungguhnya tidak sediam dan berpangku tangan seperti yang dikesankan oleh karya Said. Selain bahwa modernisme, sekularisme, dan post-modernisme tak pernah monolitik, Nurcholis Madjid atau Harun Nasution tidak mungkin —kalau pun mereka pernah berniat— memboyong begitu saja konsep-konsep yang dikembangkan di Barat tanpa bias pengalaman pribadi mereka yang lahir di Timur.

Transkulturasi, terjadi saat dua budaya yang berbeda bertemu, meniscayakan masing-masing pihak untuk mencari jembatan bahasa dan jembatan wacana. Para pengkritik pembaharuan Islam di sini, misalnya, bahkan tak bisa menahan diri atau mengelak untuk tidak meminjam konsep-konsep kritik yang berkembang di Barat.

Walhasil, poin saya adalah bahwa batas “Barat” dan “Timur” adalah semu, constructed, dan tak perlu diteguhkan. Tugas ilmuwan adalah mengabstraksikan kompleksitas pengalaman kemanusian untuk menciptakan peradaban yang bermanfaat bagi semua manusia, tak peduli agama dan rasnya. Saya tidak pernah mendengar dari guru mengaji saya bahwa tugas ilmuwan Muslim hanyalah untuk menemukan ilmu bagi orang Islam.

Ketika sekarang fakultas-fakultas Oriental Studies di Eropa dan Amerika sudah banyak diganti dengan International Studies sebagai “pertaubatan” atas bias-bias hegemonis Orientalisme di masa lalu dan giat mengembangkan kajian poskolonial untuk memerdekakan pengetahuan, rasanya tidak “Islami” bila kita justru hendak membangun superioritas “ras Muslim” atas “ras non-Muslim.”

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama