Davis: A Month to Spend

Aku tinggal di sebuah kota kecil di California utara, Davis namanya. Bisa dikatakan, 70% penduduknya terkait dengan universitas tempatku belajar -- entah sebagai mahasiswa, dosen, pegawai, pak kos, dll.

Di sana pula aku mengenal banyak orang Amerika yang baik. Jadi, nggak seperti pemerintah Amerika yang sedikit brengsek dan sok, orang-orang Amerika benar-benar baik. Eddi, yang selantai di apartemenku, meminjamkan "segala" miliknya untukku: kasur, sepeda, bantal, ngantar aku ke bandara saat pergi ke Seattle... wow.He is really a good guy!



Nai, yang keturunan Thailand, juga sangat baik. Ia bukan manajer di apartemen ini tetapi ia dipercaya oleh manajer untuk mengelola apartemen ini. Dia masih muda, tetapi dia memiliki segala yang diperlukan untuk menjadi "pemimpin" di apartemen publik (koperasi) ini.

Orang-orang asing yang nggak kenal kami pun juga baik. Hari pertama kami berempat belanja di Safeway (supermarket), kami sudah dikejutkan oleh seorang gadis pengendara sedan yang berhenti menyapa kami. Tahu kami membawa belanjaan banyak, di tengah-tengah jalan di bawah terik matahari California yang menyengat, dia bertanya, "Do You guys need a ride?"

Gila aku, terpaku nggak percaya! Gimana orang yang nggak kenal sama sekali bisa menawarkan tumpangan? Dia juga nggak tahu apartemen kami kan? Wow, saking nggak percayanya, aku tanya dia, "Is it a common practice here to help people You don't know?" She said, "Not really, some would not do this!"

Oh ya, jangan lupa, hari pertama aku tiba di sini, ketika nggak ada siapa-siapa yang njemput aku di bandara, aku juga ketemu dengan supir taksi yang baik sekali. Menelponkan aku hotel, mencarikan yang paling murah. Ohh... rasanya nggak seperti umumnya sopir taksi di Indo yang mungkin akan mengeksploitasi orang asing.. Di sini mereka justru sangat membantu!

Waktu di San Fransisco, aku juga punya pengalaman menarik dengan seorang wanita tengah baya yang berjalan saja sangat susah karena fisiknya yang luwayan "berat". Waktu itu aku sama Alvi tersesat dan nggak tahu bus mana yang harus diambil untuk pulang ke Davis.

Wanita itu, ketika kami tanya, juga nggak tahu persis bus mana yang menuju stasiun kereta. Lalu dia telpon perusahaan busnya untuk menanyakan nomor bus yang menuju ke stasiun. Setelah itu, dia sertai kami ke terminal transfer. Dia antar kami naik ke lantai dua (nggak lewat lift! bayangkan susahnya bagi orang yang kegemukan seperti itu) dan dia tanyakan pada setiap orang di sana, "Hi, somebody knows the bus to Marysville?"

Aku dan Alvi yang sebenarnya telah menydari bahwa kami nggak memperoleh bus yang tepat, nggak bisa menolak kebaikan orang itu. She is really nice and helpfull (ikhlas!)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama