Para Plagiat yang Terhormat


Pernyataan saya di Facebook mengundang pertanyaan: ada kasus apa lagi? Di mana? Siapa? Asumsi pertanyaan itu adalah: ada kasus baru yang membuat saya berkomentar. Keliru ya lur!

Penyataan saya berangkat dari banyak peristiwa. Makanya saya sebut "para." Bukan satu kasus saja. Sebagian kasus yang jadi rujukan saya, melibatkan saya sendiri sebagai korban atau "saksi pelapor." Tetapi, ya itu tadi, tidak ada efeknya. 

Ingin tahu kasusnya mana saja? Ini contohnya:

1. Pejabat di salah satu PTKIN. Sudah lama ia plagiat, terbukti plagiat, tetapi tidak ada gerakan apa-apa. Ia selesaikan tugasnya menjadi pejabat tanpa ada kebisingan. Ia baik-baik saja.

2. Seorang dosen di PTKIN, terbukti plagiat, hanya jadi perkara sebentar dan diselesaikan dengan aneh. Ia baik-baik saja,  bahkan bisa menyelesaikan studinya sampai menaikkan karirnya ke puncak jabatan  fungsionalnya. Ia baik-baik saja, menjabat pula.

3. Ada dosen PTKIN memplagiat tulisan saya. Saya laporkan ke jurnalnya. Tulisan dihapus dari jurnal. Tetapi ya cuma itu saja. Ia baik-baik saja sepertinya.

4. Ada dua orang dosen PTKIN memplagiat tulisan saya. Saya umumkan di Facebook namanya. Apa kabar mereka? baik-baik saja.

5. Ada kasus plagiat rombongan, melibatkan dua dosen PTKIN dan mahasiswanya. Saya laporkan ke lembaganya. Ada sanksi? Nggak. Mereka baik-baik saja. Solusi anehnya: naskah yang diplagiat diterbitkan ulang dengan pengarang berempat. Si korban sekarang ikut jadi pengarang. Duh! 

Mau tahu kasus lainnya? Wahhhhh banyak. Tetapi para plagiat tetap terhormat, tidak hanya menjadi dosen tetapi ada juga yang menjabat. Padahal, pekerjaan dosen itu berkhotbah soal moral. Nah, kalau mereka sendiri juga plagiat? Ini berat sobat, ya khotbahnya tamat! ðŸ˜µ‍💫


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama