Balas Budi



Salah satu penyebab mengapa kolusi dan korupsi susah diberantas adalah karena kita sering gagal, atau sengaja tidak mau, membedakan antara "fungsi" dan "jasa." 

Misalnya, kami dulu pernah berdebat tentang apakah anak dosen UIN perlu mendapat jatah kursi pendaftaran mahasiswa baru. Mereka yang mengusulkan berargumen, kursi itu layak diberikan karena orang tuanya "telah berjasa" kepada UIN. Jasa di sini jangan disamakan dengan kata "produk & jasa" tetapi "jasa" dalam arti pengabdian tanpa pamrih seperti para pahlawan itu, alias budi. 

Saya menolak argumen ini. Dosen mengajar itu menjalankan fungsi, ia tidak berjasa. Ia dibayar untuk hampir setiap keringat yang ia tetesan, bukan karena budi baiknya. Tentu kadang kita gotong royong, tetapi secara umum kita bekerja dan dibayar karena fungsi kita.

Maka, ketika saya mengajar, ya saya tidak berharap apa pun dari mahasiswa. Saya telah dibayar oleh negara. Kalau ada mahasiswa sukses, ya itu kesuksesan mereka. Tidak ada hutang budi dalam relasi kami sebagai dosen-mahasiswa. Toh saya hanya menjalankan fungsi.

Orang-orang yang menjalankan fungsi itu kadang bukan hanya dibayar, tetapi apresiasi. Misalnya, kum mengajar dapat digunakan naik pangkat. Bahkan kalau mahasiswa sukses, ada juga kredit untuk institusi dalam akreditasi. Kita ini mendapatkan nama baik dan prestasi dari prestasi mereka. Singkatnya, kita ini sudah diuntungkan tanpa harus minta balas budi mereka.

Semua pekerjaan kantor saya kira begitu. Kalau kita menjalankan fungsi, jangan harap balas budi, apalagi minta upeti, bibit kolusi dan korupsi. Nggak boleh kita bilang, "Ijazahmu kan aku yang legalisir? Kamu bisa jadi PNS itu karena jasa ku lho."

Makanya, saya tidak suka melihat mahasiswa bawa upeti. Jangankan hadiah, kalau mereka siapkan snack dan aqua saja di meja ujian skripsi pasti saya singkirkan dan kembalikan. Malu lah kita ini. Berjasa untuk negeri belum, sudah ngathung minta balas budi, padahal kita hanya menjalankan fungsi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama