Khalifah Ali Bukan Pemuda



Sayyidina Ali sering disebut dan dirujuk sebagai sosok "pemuda ideal." Ia sering menjadi teladan untuk menginspirasi kaum muda agar berani dan berprestasi. Tetapi, perlu kita ingat dengan baik, saat beliau menjadi khalifah, usianya sudah tidak muda lagi. Berapa? 56 tahun. Kira-kira dua tahun lebih muda dari Muhaimin Iskandar.

Identitas Ali sebagai representasi orang muda tentu saja terkait dengan posisinya sebagai figuran dalam kisah kenabian. Dalam sejarah kenabian ini, Ali (yang lahir sekitar 600 M) berusia tiga puluh tahun lebih muda dari tokoh utama di kisah itu, Muhammad SAW. Saat ia tampil pertama di layar sejarah kenabian, usianya baru sekitar 22 tahun. Ia dikenal karena memainkan peran kunci dalam episode hijrah Nabi ke Madinah, memainkan diri sebagai pemeran pengganti, kamuflase Muhammad SAW yang diam-diam meninggalkan rumahnya.

Perannya semakin menonjol sebagai anak muda karena beliau aktif terlibat dalam perang-perang heroik di zaman awal kenabian melawan Quraisy Mekkah. Kabarnya, Ali muda menenami Nabi di semua perang kecuali Perang Tabuk, itu pun karena ia ditugaskan menjadi pejabat "PLH" Nabi di kota Madinah. Dalam episode awal kenabian inilah sosoknya sebagai pemuda pemberani terpatri kuat dalam memori kita. At-Tabari menggambarkannya dengan kalimat sakti, "Tidak ada pedang yang lebih tajam daripada Zulfikar dan tidak ada pemuda yang lebih berani daripada Ali."


Hanya saja, sebagai politisi, kariernya tidak secepat yang diinginkan para pendukungnya. Andai saja ia berhasil menjadi khalifah pertama, tentu saja Ali dapat melengkapi kisah hebat kepemudaannya dengan "sempurna." Tetapi nyatanya ia harus menunggu giliran cukup lama, baru bisa menjadi khalifah setelah Sayyidina Utsman wafat, menjadi khalifah keempat di usia 56 tahun. Ia sama sekali bukan analog bagi narasi "anak muda" yang naik tahta di usia belia. Ya, kecuali kalau kita ingin maksa-maksa cerita agar bisa melayani syawat kuasa. 

(Sumber gambar dan narasi: Wikipedia)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama