Clifford Geertz dan Santri Modjokuto


Tadi saya nonton TV. Seorang pengamat nasional dari universitas nganu, sedang menjelaskan politik Jawa Timur. Ia mencoba mengutip trilogi klasik Cliffort Geertz . Ia sebut, penelitian Geertz ini aslinya berjudul Religions of Java dan diterjemahkan menjadi Abangan, Santri, Priyai. Ia mengatakan, ini yang menarik, bahwa Modjokuto, lokasi penelitian Geertz, adalah Tengger!

Kebetulan, ada teman reviewer yang bercerita semisal. Si dosen yang ia wawancari mengatakan bahwa masyarakat Islam Jogja itu adalah Islam kejawen. Ia, katanya, merujuk ke Geertz. Ketika ditanya, lokasi penelitian Geertz di mana koq Anda pakai untuk Jogja? Ia dengan percaya diri mengatakan bahwa Modjokuto itu adalah Sangiran!

***

Dari Tengger sampai Sangiran, entah dari mana sumber kesesatan semacam ini. Para peneliti "koboi" begini memang aneh. Dalam beberapa kasus wawancara proposal, saya juga menemui peneliti yang  "merasa tahu" tentang sesuatu, padahal tidak. 

Pada saat presentasi ia bilang, "Penelitian saya ini mixed-methods, Pak. Data penelitian kuantitatif akan dikumpulkan lewat survei, sementara data kualitatif diperoleh lewat fenomenologi."

Saya tanya, "Fenomenologi itu apa?" 

Peneliti: "Mengamati fenomena, Pak!" 

Saya: "Bagaimana caranya?"

Peneliti: "Observasi, Pak!"

Saya cek di jadwal risetnya: dua minggu untuk penelitian lapangan.

***

Selain simplifikasi makna fenomena dalam definisi fenomenologi, untuk tema yang dia angkat dan data yang hendak dikumpulkan, dua minggu itu nyaris mustahil dilakukan. Paling mungkin, yang dapat ia kerjakan bukan penelitian fenomologi, tetapi ya "wawancara" saja, yang merupakan salah satu teknik dalam pengumpulan data kualitatif.

Fenomenologi membutuhkan wawancara mendalam, pemahamahan terhadap makna dan simbol dari masyarakat yang diteliti, memahami interkasi antar orang, hingga bahasa-bahasa "lokal." Untuk menemukan tiga istilah, santri, abangan, dan priyayi dalam Religions of Java, Geertz pasti tidak datang ke Modjokuto (Pare, Kediri), menemui Pak Lurah, melakukan wawancara dan tanya, "Pak, masyarakat di desa sampeyan ini terbagi dalam berapa kelompok dan apa namanya?" Apalagi ketemu dengan petani yang sedang mencangkul di sawah dan bertanya, "Pak, sampeyan santri opo abangan?"

Trio santri-abangan-priayi dihasilkan dari proses penelitian lapangan yang lama (setahun, dan oleh ilmuwan yang kaya pengalaman sekelas Geertz) dan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data terkait. Nah, yang juga penting diingat, trio santri-abangan-priayi juga harus dipahami pertama-tama sebagai sesuatu yang unik di Modjokuto zaman itu (dekade 1950-an). Antroplogi bukan ilmu "generalisasi". 

Kalau trio ini mau digunakan untuk melihat Jawa pada umumnya silakan, tetapi selalu dengan "catatan", tentang waktu dan lokasinya. Sebab, saya baca banyak orang yang mengkritik Geertz dengan lokasi lain, waktu lain. 

Mengkritik Modjokuto dengan kasus Solo atau Jogja, misalnya, ya boleh tetapi kurang pas, apalagi dengan Indonesia! 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama