Sembilan Ribu Kata, Sembilan Ratus Hari

Setelah dua tahun berproses, sebuah naskah sepanjang 8970 kata baru saja saya selesaikan. Idenya muncul saat melamar posdoct di Israel. Lalu, sejak saat itu, kata demi kata dituangkan. Data demi data, buku demi buku, artikel demi artikel dijelajahi. Maka, demikian juga kata demi kata dibuang. Draf demi draf dibongkar dan dipasang. Semua demi mengikuti ke mana data demi data membawa.

Demikianlah cara kerja ilmu saya. Butuh waktu, butuh teliti, dan terpenting butuh interpretasi. Dalam ilmu saya, batas antara data yang objektif dan ilmu yang subjektif itu kabur. Sedapat mungkin data objektif dikumpulkan, tetapi "sesadar mungkin" kita tahu yang "objektif" hanya berbunyi dengan dikonstruksi subjektifitas kita.

Ilmu yang subjektif dan interpretif itu bersifat personal, seobjektif apapun data yang kita miliki. Karena itu, tulisan yang kita buat pun umumnya juga personal. Dalam proses bergulat mengumpulkan dan menafsirkan data itu, kenikmatannya ya kenikmatan personal. Nyaris tidak ada ruang untuk orang lain.

Maka, sulit bagi ilmu yang saya geluti ini untuk "produktif." Menjadi penulis 10 artikel per tahun, bahkan ada yang 30 artikel, "bukan aku banget." Riset dan menulis satu artikel saja dua tahun, belum lagi disubmit di jurnal yang, dalam tradisi ilmu ini, juga prosesnya bisa bertahun-tahun.

Saya tidak sedang mengkritik ilmu lain yang "produktif." Saya hormati mereka memang begitu. Sebaliknya, saya ini sedang membela diri. Sebab, ada yang bilang "nulis artikel koq cuma sendirian, nggak punya teman?" Atau, seperti yang pernah saya dengar di sebuah rapat akreditasi jurnal, "Koq jurnal ini pengarangnya tunggal semua?"

Lha dulu, dalam ilmu ini, normalnya orang ya menulis tunggal. Koq sekarang, malah jadi aneh kalau jadi penulis tunggal?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama