Single Author, Tanda Tidak Punya Teman?


Di sebuah grup WA, ada yang menulis begini:

[2/10, 1:50 PM] +62 xxxxxxxxxx: padahal Scopus "sangat" mengharapkan tulisan jurnal tidak sendirian tetapi bersama/team... masak neliti sendirian... kayak ndak punya temen aja

[2/10, 2:10 PM] +62 xxxxxxxxxx: Saking semangate ngeritik nganti salah bikin Infografis...dikira nulis dewean kuwi hero... seng jelas ndak nduwe konco😁

Awalnya, saya anggap penyataan ini guyon saja. Tetapi setelah ia mengulanginya dan tetap dengan nada menertawakan begitu, saya simpulkan bahwa orang ini serius. Di otaknya tertanam anggapan bahwa menulis sendiri hanya dilakukan orang yang nggak punya teman!

Sebagian orang yang latah menulis keroyokan tampaknya beranggapan kalau penulis tunggal itu aneh. Cuma, bagi orang yang biasa menulis buku dan artikel dari zaman sebelum scopas-scopus, penulis tunggal itu lumrah saja. Nggak ada yang merasa heroik. Dulu, menulis keroyokan yang justru aneh.

Coba, mana ada ulama klasik menulis kitab bareng-bareng? Jalalain saja, meski ditulis bersama, jelas terbagi mana yang karya Jalaluddin Mahalli dan mana yang karya Jalaluddin Suyuthi. Filsuf-filsuf dan ilmuwan Muslim juga hampir semua menulis sendiri. Mana ada Ibn Khaldun menulis bareng mahasiswanya? Al-Ghazali menulis keroyokan dengan para dosen Nizamiyyah?

Jika masih kurang, sebut saja Durkheim, Marx, Mead, Parsons, Bourdieu, Habermas, Foucault, Spencer, dan seterusnya. Adakah para penulis ini terkenal karena publikasi keroyokan? Apa Anda mau bilang kalau mereka itu kesepian dan tidak punya teman hanya karena mereka meneliti dan menulis sendiri? 

Faktanya, tren menulis keroyokan itulah yang sebenarnya barang baru, cara baru yang faktanya banyak diselewengkan! Sebab, tanpa ingin menyalahkan model itu sendiri, praktik kroyokan inilah yang kini menjadi jalan bagi banyak kejahatan akademik: makelar, kartel, ghost writer

Kalau suami-istri dosen, suami publikasi, istri ikut. Kalau istri publikasi, suami ikut. Belum lagi dosen yang ngerjai mahasiswa untuk nulis, terus dosen numpang nama. Jumlah kejahatan begini buuuuuanyak!

Jadi, nggak perlu lah merasa yang rombongan itu hebat dan keren, yang sendiri kuno dan tak punya teman. Sebab, single authorship atau co-authorship itu sebenarnya terkait dengan jenis penelitian (itu kalau Anda mau baca baca filsafat ilmu!).

Saya kasih contoh. Kalau orang meneliti secara kualitatif dan menggunakan pendekatan fenomenologi, maka besar kemungkin dan secara teknis lebih mudah jika meneliti sendiri. Dalam penelitian jenis ini, peneliti harus terlibat dari dekat, mengamati secara langsung, perlu empati, perlu etik, dan terpenting "harus menafsirkan" setiap gejala yang tersirat maupun tersurat. 

The Religion of Java karya Clifford Geertz mungkin tidak akan menjadi karya yang "sakti" kalau ditulis rombongan. Geertz meneliti sendiri, menulis sendiri bukan karena tidak punya teman. Ia harus melakukannya karena secara epistemologis dan metodologis tidak mungkin rombongan! 

Single atau co-author sangat tergantung jenis ilmunya. Sungguh, sejauh saya belajar di Barat dan Timur (Tengah), baru di Sapen ini saya mendengar orang menghina single-authorship begitu. Apalagi, ia bawa-bawa Scopus! Coba cari di mana Scopus mengatakan menulis keroyokan itu lebih diinginkan daripada sendiri? 

Faktanya, berdasarkan penelitian di bidang ilmu perpustakaan terhadap jurnal-jurnal yang terindeks Scopus, single authorship masih dominan! Penulis rombongan (tiga atau lebih) sangat sedikit jumlahnya (12% atau kurang). Lalu Anda mau bilang kalau para peneliti di ilmu perpustakaan itu kurang jaringan dan nggak punya teman?

Sumber: Barik dan Jena (2018)

Sebagai orang yang bergelut di Islamic Studies, saya juga dapat mengatakan bahwa mayoritas tulisan di jurnal-jurnal internasional terkemuka, juga single author! (Saya tidak fanatik Scopus, "terkemuka" itu artinya diakui, dibaca, dikutip, dan tempat kita menemukan tulisan para ahli Islamic studies mempublikasikan tulisannya). Ini bukan karena orang Islamic studies merasa heroik, juga bukan karena tidak punya teman, tetapi tradisinya begitu, epistemologi ilmunya menghendaki begitu!

Di Israel, saya datang sebagai peneliti, mendapatkan dana riset dari dan disupervisi oleh seorang profesor. Beliau, saya, dan posdok lain meneliti di topik yang sama. Kami diskusikan teori, pemilihan kasus, pengumpulan data untuk penelitian bersama. Apakah njuk tiba-tiba kami menulis keroyokan? Tidak! Masing-masing orang tetap menulis tentang fokus risetnya, nggak ada ceritanya co-authorship hanya karena profesor saya itu menyumbang ide, memberi koreksi, dan merevisi artikel saya. Selama tulisan itu riset saya dan atas tanggungjawab saya, tetap saja terbitnya single author

Bahwa ada praktik berbeda di ilmu lain, sains khususnya, ya nggak papa. Ilmunya beda, paradigma risetnya beda, tradisinya beda, maka cara pubklikasinya juga beda. Saya hormati mereka. Mereka co-authorship bukan karena pertemanan (entah kalau ada yang keroyokan karena diberi jatah sebagai teman), ya karena mereka kerja bareng beneran dengan peran dan tugas yang jelas. 

Sebaliknya kita single author juga bukan karena nggak punya teman, tetapi karena memang begitu seharusnya, etis dan epistemologisnya! Nggak usah latah ikut-ikutan keroyokan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama