Mas Dian Nafi'

 


Setelah mengikuti PKD PMII Solo tahun 1993, acara pertama yang sya ikuti di PMII adalah AMT (Achievement Motivation Training). Acara ini digelar dengan fasilator tunggal, oleh orang NU yang menurutku saat itu tidak seperti umumnya orang NU: tampil elegan, rambut dipotong rapi, bicara dengan penuh percaya diri, dan membawa acara dengan smart. Kulit putih dan mata agak sipit membuat fasilitator AMT kami itu lebih tampak seperti motivator "mahal" yang biasa dipakai perusahaan-perusahaan besar. Mulai hari itu dan selanjutnya, kami biasa memanggilnya Mas Dian.
Materi yang diberikan hari itu banyak mengubah hidup saya. Mas Dian berhasil membuat menyadari kelemahan-kelamahan saya, dan mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan. Mas Dian juga berhasil menanamkan berbagai sikap mental penting untuk sukses. Membekali kami dengan berbagai alat untuk melihat masalah secara positif dan visioner. Meski semua materi ini penting dan snagat penting, tetapi yang paling memotivasi saya sebenarnya adalah sosok mas Dian sendiri. Pribadi dan pembawaan dirinya menjadi kulminasi terpenting dan "mewujud" dari seluruh materi yang ia bawakan. Sangat mudah bagi anak muda seperti kami waktu itu berangan-angan "ingin seperti Mas Dian."
***
Setahun kemudian, ketika kami diberi amanah mengurus PMII Solo, satu hal mendasar yang kami "irikan" dari organisasi sebelah: mereka punya markas yang menjadi pusat kendali kegiatan mereka. Markas itu tidak hanya menjadi alamat di kop surat, tetapi juga tempat kegiatan, tempat bertemu para aktivisnya jika diperlukan. Sementara PMII Solo? Alamat pun hanya numpang di kantor cabang NU.
Tidak ada solusi mudah bagi kami waktu itu. PMII Solo baru saja "hidup lagi" dan memiliki anggota kurang dari 100 orang. Para pengurus cabangnya baru semester 5 atau 3. Keinginan untuk membesarkan PMII tidak mungkin diwujudukan tanpa dukungan "orang tua" yang secara organisasi kita ceraikan: NU. Untungnya NU, khususnya NU Solo waktu itu, tak pernah "menceraikan" anak-anaknya. PCNU Solo, untungnya, selalu menopang kami, 100%.
Maka, untuk urusan "markas" itu, kami tidak ragu-ragu untuk meminta bantuan para sesepuh kami. Orang pertama yang kami temui, tidak lain dan tidak bukan, adalah Mas Dian. Beliau tinggal tak jauh dari kantor NU, bersebelahan, hanya selisih satu rumah di sebelah selatan kantor. Saya, waktu itu menemani Agung Suprayogi (Ketua Cabang) dan Zainul Mahmudi (Sekretaris), sowan ke rumah Mas Dian. Kami sampaikan cita-cita besar kami, kami sampaikan kekurangan kami, dan kami mintakan dukungan sepenunnya dari mas Dian untuk matur ke pak Yai Rozaq (ketua PCNU Solo) agar kami diizinkan bermarkas di kantor NU.
Tak lama setelah kami sowan, kami mendapatakan kabar baik yang kami tunggu. Kami diizinkan dengan sejumlah syarat "normal" seperti menjaga kebersihan kantor. Terpenting, kami diminta berjanji untuk menjaga "akhlak," dalam hubungan laki-laki dan perempuan. "Hormatilah kantor NU itu dan jaga jarak dalam pergaulan antar mahram," begitu pesan utamanya.
***
Hampir bersamaan IAIN Solo pindah ke Kandang Menjangan, al-Muyyad juga membuka cabang di Windan, di sebuah pesantren "bekas" pesantren Muhammadiyah. Sejumlah teman yang bermarkaz di kantor NU, pindah ke Windan dan menjadi santri pertama Mas Dian. Saya sendiri bertahan di Solo dan tinggal di sebuah langgar di Sriwedari. Meskipun tidak ikut nyantri di Windan, hubungan saya dan Mas Dian tak pernah putus.
Di PMII, Mas Dian terus menjadi pendamping kami. Setiap PKD, Mas Dian adalah pemateri rutin yang kami harapkan untuk terus dapat menjadi model bagi anak-anak PMII. Sebab, meski bukan dosen, Mas Dian itu bagi kami adalah akademisi idola, "intelektual organik" yang tak pernah berhenti mengalirkan inspirasi. Saya tidak ingat berapa kali, tetapi berkali-kali acara-acara PMII seperti PKD juga kami selenggarakan di Windan, di pondoknya Mas Dian.
***
Terkahir kali ketemu Mas Dian, saya membawa rombongan mahasiswa Western Sydney University untuk sowan ke Windan. Ketika mereka minta dibawa mampir ke sebuah pesantren, saya tak pernah berpikir dua kali untuk memilih Windan dan Mas Dian untuk dipamerkan ke tamju Australia itu. Sekali lagi, tentu karena sosok Mas Dian yang lebih dari pantas untuk dibanggakan.
Sebelum pulang dari Isarel, saya sudah membuat daftar orang-orang yang wajib saya sowani. Saya pikir, perjalanan akademik saya tidak akan mungkin sejauh ini tanpa jasa orang-orang, guru-guru, yang menempelkan insipirasi dan mengulurkan tangan berlimpah jasa mereka. Saya tahu, mustahil untuk membalas jasa mereka, tetapi setidaknya dengan sowan dan mencium tangan-tangan mereka, saya bisa terhindar dari dosa anak durhaka.
Sayangnya, satu guru itu, Mas Kiai Dian Nafi', sudah terlebih dulu pergi sebelum sempat kujampai. Semoga ini hanya perpisahan sementara saja dan kelak, di tempat yang lebih baik dari hari ini, kami bisa berkumpul lagi. Al-fatihah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama