PCINU Cabang Israel?



Pada tahun 2018, Gus Yai Ketua Umum PBNU, waktu itu sekjen, berkunjung ke Israel. Kunjungan yang menghebohkan, tentu saja. Beliau, dalam satu hal, sedang napak tilas perjalanan Gus Dur; tetapi di sisi lain juga sedang mengemban misi untuk mengukuhkan Islam sebagai agama perdamaian. 

Kehebohan akibat "berkunjung ke Israel" atau "Bertemu dengan Benjamin Netanyahu" lebih menarik perhatian orang daripada visi kiai yang baru terpilih sebagai nakhoda NU ini. Jika Anda tertarik untuk mendengarkan pandangan-pandangan progresif, moderat, pro-dialog dan perdamaian, rekamannya masih ada di Youtube (saya taruh di bawah). 

Pandangannya tentang relasi Islam dan Yahudi yang jernih dan visioner membuat saya ingin ceritakan hal menarik terkait topik Yahudi dan NU ini.  Beberapa waktu yang lalu, saya menyaksikan sebuah film dokumenter tentang Yahudi ortodoks di Yerusalem. Hal paling menarik perhatian saya adalah adegan yang merekam bagaimana orang Yahudi memperlakukan rabi dan kitab suci mereka. 

Para rabi ini tampaknya seperti para kiai NU. Di “kantor”nya, orang antre berjejer di luar ruangan seperti pasien antre dokter. Begitu satu orang klien selesai, klien berikutnya diminta masuk. Nah, pada saat bertemu dengan si rabi, yang pertama dilakukan oleh si klien adalah mencium tangan sang rabi, persis para santri NU ketemu kiainya.

Di adegan lain, saya melihat orang-orang Yahudi yang sedang “mengaji.” Ketika mereka selesai membacanya dan mengembalikan ke rak, mereka mencium kitab suci itu terlebih dulu. Perilaku ini persis yang diajarkan kepada kita, para santri, sejak kecil. Dulu, menjatuhkan buku turutan (Baghdadiyah) saja saya dimarahi teman saya. “Hayo, segera ambil dan cium!” teriaknya seolah khawatir bahwa kami telah melakukan sebuah dosa besar. 

Tidak semua orang Islam begitu kan? Saya tahu, di Masjidil Aqsa orang memperlakukan Alquran seperti buku novel. Mereka mengambil, membaca, Alquran lalu kadang ditaruh di samping tempatnya bersila. Saya juga sering menjumpai perilaku yang sama di banyak tempat di Indonesia. Santri NU biasanya hati-hati benar mengambil dan menaruh Alquran. Kalau buku di rak harus ditumpuk, Alquran pasti ditaruh di urutan teratas. Tidak boleh ada buku lain yang menindihi. Kata teman saya yang Yahudi, “Bukan hanya Taurat, buku-buku keagamaan lain juga diperlakukan seperti itu koq.”

Apakah kita meniru Yahudi?  Wallahualam. Tetapi bagi saya, kesamaan-kesamaan seperti itu menjadi sangat masuk akal ketika kita berada di tempat seperti Yerusalem ini. Interaksi, kontak, saling lihat, saling tiru, saling mempengaruhi antar iman itu sangat mungkin. Kalau kita membaca Hadits tentang larangan meniru umat agama lain, saya menduga konteksnya adalah kebutuhan untuk memiliki identitas bagi agama yang datang paling akhir, umat yang masih muda. Kalau Islam sama saja dengan yang sudah ada, untuk apa diutus seorang Nabi baru?

Nah, bersama dengan berjalannya waktu dan kebutuhan. Upaya-upaya menjauhkan diri, membedakan diri itu mungkin sudah tidak lagi diperlukan. Kita bukan hanya sudah memiliki identitas yang kuat, kadang sudah sampai keterlaluan fanatiknya seolah-olah kita yang paling benar, paling memiliki ini dan itu, paling Islami, dan seterusnya yang ujungnya adalah konflik dan kekerasan. Jika sudah keterlaluan begitu, maka mungkin kita sekarang justru perlu memupuk identitas kesamaan, kemiripan. Sebab, bukan hanya bapak kita yang sama, Ibrahim, tetapi bahwa Tuhan kita juga sama. 

Ketika seorang teman bertanya apakah tidak ada niat untuk mendirikan PCINU Israel seperti di negara lain, saya bingung menjawabnya. Lha sampai tiga bulan tinggal di sini, saya baru ketemu dengan satu orang Indonesia. Tidak ada makhluk NU di Israel. Karena “amaliah” NU ada di antara umat Yahudi di sini, apakah boleh saya mendirikan PCINU dengan anggota para “santri” ortodoks yang suka cium tangan “kiai” dan kitab sucinya itu? 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama