Terpaksa Ibrani


Kemarin setelah dari bank, saya pergi ke pasar, lagi. Ya, untuk kedua kalinya memang. Sebab, malamnya saya juga sudah ke pasar itu. Sewaktu mengobrol dengan orang Filipina yang bareng vaksinasi di balai kota, ia memberi tahu kami soal pasar rakyat yang murah, segalanya ada. Nah, saya balik lagi ke pasar karena ingin membeli beberapa barang seperti sendok, piring, gelas, dan sepatu bila perlu. Semalam saya hanya lihat-lihat saja, untuk mengenal lokasi.

Setelah memperoleh beberapa barang, saya lanjutkan dengan menelusuri jalanan pertokoan di Yerusalem. Saya melirik harga-harga sepatu yang di toko-toko olah raga. Harga yang dipajang, ada yang 150 NIS sampai 400 NIS. Karena saya hanya butuh sepatu ekstra saja yang ringan untuk jalan, saya ingin cari yang murah meriah begitu. Saya berhenti di sebuah toko sepatu sederhana, hanya sebuah kios kecil yang memajang sepatunya di emperan toko. 

Saya berhenti melihat-lihat sepatunya. Tidak ada harga tercantum. Ketika saya melihat salah satu sepatu yang dipajang itu, penjualnya dengan ramah menyapa saya. Lelaki tua berumur lebih dari 60 tahun, perkiraan saya. Ia menyapa saya dalam Bahasa Ibrani. Kalau cuma sapaan, saya bisa menjawab. 

Sewaktu saya bilang saya tidak bisa bahasa Ibrani dengan Bahasa Inggris. Dia rupanya juga tidak paham apa yang saya katakan. Dia mengajak saya masuk ke kios sempitnya. Ukurannya tak lebih dari 2 x 4 meter, memanjang ke belakang. Hanya cukup untuk rak sepatu di kiri kanan dan jalan satu orang. Ia tunjukkan koleksi sepatu seperti yang sedang saya pegang. Ia rupanya ingin mencarikan sepatu yang ukurannya pas dengan kaki saya. “Size” Saya jawab dengan bahasa isyarat tangan dan Inggris menunjukkan ukuran sepatu saya.

Ia ambilkan sepatu untuk saya coba, nah saya ingat Bahasa Ibraninya apa. Yutir qatan! Terlalu kecil, saya bilang. Ani rutsih hana’laim hagadul, kata saya lagi. Ia lalu membuka dan memberikan sepatu yang lebih besar seperti yang saya minta. Karena jenisnya beda, saya bilang, “Lo, hana’laim ha-izi hagadul.” Saya tidak mau sepatu yang beda. Sambil saya tunjukkan model yang kekecilan tadi, “ha na’laim hai-zih.”

Barangnya tidak ada, dan ia mendesak saya untuk beli model yang agak berbeda itu. Saya tanya, “Kamah hazih?” Ini sepertinya kalimat yang salah. Untuk bertanya harga bukan begitu kalimatnya. Tetapi karena cuma kalimat itu yang paling mendekati kebenaran dan ternyata dia juga paham maksud saya, dia jawab “Miah wahamisim”. Soal bilangan, Ibrani sangat mirip dengan Arab. “Seratus lima puluh NIS,” katanya. Ah, mahal sekali. Saya bilang “Lo, ani lo rutsih hana’laim!”  Saya tidak suka modelnya, lalu saya minta ijin untuk pergi.

Mahalkah harga sekian itu? Nanti saya cerita soal harga-harga di Israel. Pengalaman di toko itulah yang sebenarnya mahal: praktik bahasa Ibrani pertama tanpa daya! 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama