Harga Sebuah Ide


Selama dua minggu di Yerusalem, otak saya benar-benar dilimpahi ide untuk ditulis. Seperti katak di musim hujan, kang kung kang kung, ide itu bersahutan di kepala saya minta ditulis. Nah kadang, pas di jalan atau di tengah rapat, ide itu keluar dan karena satu dan lain hal ada yang mengalihkan, ide itu hilang lagi. 

Padahal, menurut saya ketika ide itu muncul, itu ide sangat penting dan wajib dibahas. Tetapi karena saya tidak sempat mencatatnya, tidak bawa catatan, ide itu hilang begitu saja. Menyesal. Tentu sangat menyesal. Ketika musim kemarau ide, kita sampai kesulitan menemukan ide. Pas musim hujan ide, harusnya kita segera menuliskannya. 

Sejak beberapa kali saya kehilangan ide yang muncul tiba-tiba itu, saya selalu menyiapkan kolam penampungan ide. Sebuah buku catatan kecil dan pulpen. Maka, sewaktu berangkat ke Israel, satu-satunya bekal buku fisik yang saya bawa adalah buku saku kecil itu. 

Dulu, pas awal-awal saya melakukan itu di rumah, istri saya sempat kaget karena tiba-tiba saya lari keluar dari kamar mandi. “Ono opo e?” tanyanya. Saya abaikan dia untuk sementara dan segera menulis ide yang keluar waktu di kamar mandi itu. Setelah tertulis, baru saya jawab. “Ono ide sing kudu ditulis.” Lama-lama dia terbiasa dan tidak bertanya lagi.😁

Mengapa buku dan bukan HP saja? Dulu ya, pernah saya gunakan HP. Tetapi menulis di buku, mencoret sesukamu, buat peta ide, dan coretan-coretan ‘fisik’ itu koq rasanya beda dengan menulis digital. Jadi, ada rasa kesegaran ide dan ‘keabadian’ yang tidak terasa kalau tulis di HP.

Saya biasanya hanya menulis "tesis" pokoknya di catatan itu. Kadang juga, ketika ide detilnya juga muncul, saya tulis poin-poin argumen yang akan dibangun. Tetapi intinya adalah, segera tulis, corat-coret-coret, kapan-kapan jika ada waktu kembali lagi ke coretan itu untuk dikembangkna menjadi tulisan. Kalau Anda bagaimana?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama