Belum pantas

Saya tulus ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman saya yang sudah mengabdikan dirinya untuk menjadi kiai. Saya percaya gelar kiai tidak penting bagi mereka, tetapi mereka pantas mendapatkanya, sepantas-pantasnya. 

Melihat perhatian mereka ke pondok, kecintaan mereka ke para santri, waktu yang diluangkan untuk mendidikan anak-anak kita, mereka pantas mendapatkan apa yang selama ini oleh orang luar pesantren disebut sebagai kultur yang tidak demokratis, kiai sentris, feodalis, apa pun lah. Sebab sentralitas, kalau pun ada, lahir tidak dari pengumpulkan kekuasan (hard power) seperti para politis, tetapi dari hard work.   

Bagi mereka yang pernah nyantri atau menjadi orang tua yang punya anak yang ditipkan ke kiai, apa yang diberikan kiai ke diri mereka dan ke anak mereka seringkali tak ternilai dengan apa pun. Jadi, kalau cuma pasrah total ke kiai, atau memberi apa saja yang kiai perlukan, bukan sesuatu yang di luar nalar. Sebaliknya, sangat bernalar, masuk akal.

Maka saya sering malu kalau di grup ngaNU itu, atau di bebeberapa tempat, ada yang memanggil saya sebagai kiai. Mungkin karena saya orang NU, orang memanggil kita dengan sebutan 'kiai' sebagai penghormatan karena di NU tidak dikenal panggilan lain yang lebih tepat. Dipanggil Gus, ya sudah tua dan bukan anak kiai. Dipanggil ustad, serasa PKS. Ujung-ujungnya dipanggil kiai.

Saya malunya itu dua-rius. Pertama, karena dibadingkan teman-teman saya yang sudah jadi kiai beneran, punya pesantren, punya santri, dan dengan segala perjuangan dan pengorbanan mereka untuk mendidik anak-anak kita, saya bukan apa-apa dan tidak melakukan apa-apa. Saat ini, malah bisanya cuma membenani kiai, nitip anak. Beban kiai, nggak pantas disebut kiai.

Kedua, saya tidak berani dan sudah kecil hati untuk menjadi kiai. Saya belum berhenti menyukai hal-hal yang sepertinya kurang pantas dilakukan 'kiai' (dalam persepsi saya lho ya...) Misalnya, saya suka mendengarkan Via Vallen, Happy Asmara, Ilux, Ndarboy, dan Haico. Saya juga masih rajin nonton film-filmnya Will Smith, Danzel Washington, atau Bruce Willis. Saya bukan Taliban, tetapi saya juga tahu dari yang pernah saya pelajari dulu waktu ngaji Sulam Taufiq bahwa hal-hal begitu itu termasuk 'maksiat'... Tidak ada dosa yang pantas. Tetapi sebagai bukan kiai, saya masih pantas berdosa.   

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama