Pertemuan kedua, saya hanya menatap dan menerka. Cara berjalannya, gerakan tangannya, dan nada bicaranya... Ia sepertinya adalah seorang difabel lanjut usia. Di balik masker dan kacamata hitam, saya hanya bisa tampak membungkuk untuk menyapa sekelebat lewat.
Ia lanjut menggembala. Saya terus bersepeda.
Pertemuan ketiga, saya berhenti. Saya niati menyapanya. Masker saya buka dan kami bertukar sapa. Saya ragu, tetapi saya coba saja meminta, "kulo foto nggih mbah?"
Di luar dugaan saya. Ia sambut gembira. Sambil senyum memerkan giginya yang tinggal tiga atau lima (aku gak ngitung lah!) ia berkata, "Ya, ya ya."
Ia tak banyak kata. Kalau pun berkata, saya juga tidak bisa memahaminya.
Terpenting, tetapi, kambing itu bisa memahaminya kemana mereka ia gembala.
Setelah beberapa gambar saya ambil, saya pamit. "Monggo mbah." Dan ia jawab, "Ya. Ya. Ya." Sugeng makaryo gembala tua.
Posting Komentar