Pandemi tanpa Pemimpin


Tiga anak saya semua di akhir tahun sekolah, SD, SMP, dan SMA. Dalam acara sosialisasi semester genap, ketika ditanya secara terpisah: bagaimana ujian akhir nanti? Bagaimana kelulusan nanti? Semua tingkat pendidikan kompak menjawab, "Kami belum tahu!"

Kita tahu, sekolah tidak bisa mengambil keputusan. Mereka menunggu keputusan pusat. Masalahnya, kita juga tahu, November lalu, yang di pusat juga lempar tangan. Tiga atau empat menteri waktu itu bertemu hanya untuk mengatakan bahwa untuk belajar tatap muka atau tidak, "daerah lebih tahu". Dengan kata lain? Kami tidak tahu!

Soal daerah lebih tahu itu, ya. Namun, menghadapi pandemi itu butuh leadership, kebijakan yang terkoordinasi di pusat. Ibarat tim sepak bola, pemain lebih tahu apa yang terjadi dan harus dilakukan di lapangan sesuai posisinya. Tetapi, tim sepakbola butuh pelatih yang membuat rancangan kapan barisan belakang bisa membantu serangan dan sebaliknya barisan depan membantu pertahanan. Tidak bisa pelatih bilang, "Soal nanti mau bertahan atau menyerang, pemain lebih tahu."

Soal akhir tahun belajar ini membuktikan lagi bahwa yang di pusat tidak ada leadership. Saya sungguh tidak paham. Hal yang kita semua tahu: pandemi ini sudah pasti; kapan berakhirnya tidak ada yang tahu pasti.

Dengan dua variabel itu, kalau saya menteri pendidikan, saya akan pilih saja variabel yang sudah pasti. Ambil skenario pandemi tidak akan berakhir dalam 6 bulan ke depan. Belajar tatap muka ditiadakan. Sekolah online, seburuk apa pun hasilnya. Untuk kelulusan, misalnya, ditetapkan saja dengan penilaian komprehensif yang memberi bobot nilai kelas 1 dan 2 (sebelum pandemi) proporsional dengan tahun ketiga (tahun pandemi) yang ala kadarnya.

Jadi, dengan memilih salah satu skenario itu, segera instruksikan daerah dan sekolah untuk menyesuaikan perangkatnya. Demikian juga sebagai penguasa pusat, koordinasikan hal ini dengan perguruan tinggi atau sekolah di level atasnya untuk bagaimana menyeleksi calon siswa mahasiswa baru.

Kalau segala keputusan masih digantungkan kepada mimpi berakhirnya pandemi dan tidak diputuskan, yang susah yang di bawah. Atau semua ini hanya imbas dari yang lebih atas lagi, yang bahkan gagal melihat melonjaknya angka penularan dan angka kematian dari ada dan tidaknya lockdown.

Melonjak itu fakta, lockdown atau tidak itu pilihan kebijakan! Sama seperti kalau ada orang yang kakinya membusuk, membiarkannya merambat ke seluruh tubuh atau diamputasi itu pilihan! Jangan bilang, "untung tidak diamputasi." karena si kaki tetap membusuk.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama