Jujur atau Menghibur


Tadi saya ngonthel ke selatan, Pasar Imogiri. Sejak pandemi, atau malah jauh sebelumnya, saya sudah lama tidak main ke wilayah itu. Begitu menyeberang Jembatan Karang Semut, masuk daerah Wukirsari, saya segera teringat seorang kawan lama. Sebut saja namanya Udin, teman satu atap ketika kami sama-sama tinggal di sebuah langgar di Solo. 

Saya masih mahasiswa tahun kedua dan Pak Udin bekerja sebagai tukang. Pak Udin asli Jawa Timur tetapi menikah dengan orang dan tinggal Wukirsari, Imogiri. Jadi, ia tinggal di langgar itu dan pulang ke Imogiri setiap Sabtu. Orangnya baik dan kami berteman baik. Sewaktu saya hijrah ke Jogja, saya sempatkan mengunjungi rumahnya, beberapa kali.

Suatu hari, Pak Udin datang ke rumah saya dengan anaknya. Ia bawakan macam-macam oleh-oleh. Ringkas cerita, Pak Udin datang untuk sebuah keperluan, "Anak saya mendaftar di UIN, saya harap njenengan bisa membantu untuk meluluskannya."

Saya benar-benar kaget dan bingung. Waktu itu saya bukan siapa-siapa di UIN Sunan Kalijaga. Saya ini kan 'orang luar', bukan alumni Sapen dan perlu 'disapenkan'. Saya tidak kenal dekat dengan orang-orang penting di UIN. Saya jadi dosen pun karena buah reformasi 1998. Masuk UIN lewat seleksi murni tanpa titip-titipan. Jadi, permohonan Pak Udin di luar kemampuan saya.

Ditambah lagi, saya termasuk orang yang tidak pernah setuju dengan titip-titipan begitu. Bagi saya, titipan itu men-zalimi orang yang lebih layak kuliah tetapi tersingkir karena ia bukan siapa-siapa. Saya bayangkan, sayalah orang yang mungkin bisa menjadi korban titipan karena sebagai wong ndeso anake wong tani wutun saya juga tidak pernah mendapatkan privilege ditipkan ke siapa-siapa.

Jadi, saya menjawab jujur saja waktu itu. "Ngapunten Pak, kulo mboten saget." Saya jelaskan posisi saya yang bukan siapa-siapa itu dan tanpa basa-basi saya mengatakan tidak bisa membantunya. Saya ingat betul wajahnya yang tiba-tiba berubah, seperti cahaya yang meredup. Saya tahu ia pasti sangat kecewa.

Sejak hari itu kami tidak pernah bertemu lagi, tidak pernah ada komunikasi. Kalau teringat peristiwa itu, seperti pagi ini saat menelusuri jalanan Wukirsari, saya selalu berpikir bagaimana kalau waktu itu jawabannya untuk menghibur saja. "Nggih Pak, insyallah kulo bantu." Jawaban itu tak akan mengubah keadaan saya yang tidak punya akses dan tidak akan mengubah prinsip saya bahwa sebagai lembaga pendidikan negeri, titp-tipan itu zalim. Tetapi setidaknya jawaban itu akan menghiburnya. 

Bohong memang, tetapi kebohongan yang mungkin bisa membahagiakan. Entah.  


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama