Fikih Difabel di Muhammadiyah


Saya baru saja ditelpon wartawan untuk dimintai tanggapan tentang Fikih Difabel. Sebab, kita dapat kabar gembira kalau konsep Fikih Difabel yang telah lebih dari dua tahun digodog di Muhammadiyah akhirnya bisa 'dimunaskan'. Munas ke-31 ini diselenggarakan secara daring dan maraton antara tanggal 28 Nopember - 20 Desember lalu. Acara virtual ini sebagai pengganti acara luring yang rencananya diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Gresik.

Saya pribadi bergembira karena dua hal. Pertama, karena saya pernah mendapatkan kesempatan untuk berkontribusi dalam proses penyusunannya. Sumbangan saya tidak banyak, hanya menjadi narasumber penyusunan bahan. Tetapi bagi saya itu adalah sebuah kehormatan dan kegembiraan.

Kedua, saya bergembira karena keputusan Munas ini akan melengkapi apa yang sudah dikerjakan di UIN Sunan Kalijaga dan di NU. Teman-teman saya di Fakultas Syariah pernah menerbitkan buku Fikih Ramah Difabel  pada tahun 2015. Sedangkan NU sudah menerbitkan Fikih Penguatan Penyandang Disabillitas pada 2018 (unduh di sini). Maka, setidaknya kita sekarang punya tiga 'mazhab' Fikih Difabel yang bisa dirujuk dan dimanfaatkan oleh teman-teman difabel dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Sewaktu diwawancarai tadi, saya ditanya soal apa yang harus dilakukan setelah keputusan Munas ini. Jawab saya, "Tentu saja pertama-tama yang harus menyambut baik keputusan munas ini adalah warga Muhammadiyah dan badan-badan usaha perserikatan. Universitas Muhammadiyah, misalnya, perlu menindaklanjuti hasil munas dengan upaya-upaya mewujudkan kampus yang inklusif, mendirikan unit layanan difabel di PTM masing-masing. Di Yogya, UAD sudah punya, yang lain tinggal nyusul."

Untuk materi Fikih yang dihasilkan di Munas Tarjih XXXI, lain kali saja dibahas. Akhir tahun begini nggak enak kalau ngomong yang berat-berat.  

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama