Integritas, Cerita dari Kelas


Suatu ketika, entah kapan, di suatu waktu, saya menemukan para mahasiswa melakukan tindak tidak terpuji: mencontek. Jawaban di kelas itu, buanyak sekali yang sama: sama-sama salah. Jawaban itu bersumber dari seseorang yang dianggap pintar oleh teman-temannya. Walaupun salah, mereka contek juga.
 
Saya tidak bisa menuduh siapa dicontek, siapa mencontek. Maka, saya umumkan di kelas, semua orang yang mencontek wajib mengaku karena saya sudah punya bukti dan namanya. Bagi yang mengaku, akan ada proses pemaafan. Bagi yang tidak mengaku: nilai E! Pengumuman manjur, bertubi-tubi saya menerima SMS pengakuan. Lalu, saya meminta mereka 'menandatangani' semacam pakta integritas untuk tidak mencontek lagi dalam hidup mereka!

Hari ini, kejadian semisal terulang. Saya memberi tugas kepada mahasiswa untuk menulis esai. Esai lho ya! Sedikit saja mirip, pasti ketemu contekannya. Mungkin mereka mengira saya tipe dosen yang tidak mau membaca tugas yang dikumpulkan (byuh!). Padahal, saya tidak hanya akan membaca, tetapi mengomentari setiap tulisan seperti saya mereview tulisan untuk jurnal! Saya menemukan dua pasang makalah yang sama persis. Beberapa lagi, mirip. Saya tentu saja tidak dapat menuduh siapa mencontek siapa. Saya umumkan lewat Zoom, tetapi nggak ada respon.

Maka, saya ulangi lagi peristiwa di masa lalu itu: pengumuman di WAG. Barangsiapa yang tidak mengaku, dapat nilai E, baik yang mencontek atau dicontek. Sebab, saya tidak tahu siapa mencontek siapa. Hasilnya? manjur. Berbondong-bondong pesan pengakuan masuk. Jumlahnya? Melebihi yang saya perkirakan, karena mereka yang nyontek dikit-dikit saja ikut mengaku bersalah. 

Bagi saya, integritas itu penting. Mengajarkan integritas adalah tugas pertama saya. Jauh lebih penting daripada mengajarkan materi kuliah itu sendiri. Di Grup WAG kelas, saya kisahkan sepotong episode dalam hidup saya:

[10/22, 7:51 PM] Arif Maftuhin: Sejak kecil, integritas itu adalah tongkat hidup saya. Tentu saja, saya pernah lalai. Saya pernah dua kali mencontek. Pertama, saat kelas 5 SD. Saya benci sekali tahun-tahun dalam pelajaran sejarah. Maka saya tulis di tembok kelas saya, Perang Diponegoro, 1825-1830. Kedua, saat SMP. Ketika tiba-tiba guru kesenian saya menyelenggarakan ujian harian dadakan. Gurunya meninggalkan kelas. Semua teman cepat-cepat nyontek, saya ikut-ikutan. Tiga jenis suara pria: tenor, bariton, bass, saya contek.
[10/22, 7:51 PM] Arif Maftuhin: Saya ingat terus dua dosa saya itu. Lalu saya berjanji, saya tidak akan mengulangi lagi selamanya
[10/22, 7:52 PM] Arif Maftuhin: Saya tidak pernah peduli lagi soal nilai ujian. Sejak saat itu, hidup saya merdeka!


Selamat Hari Santri. Santri itu berintegritas!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama