Salah Paham Profesi Dokter


Video dari tenaga medis ini mungkin sudah Anda lihat sebelumnya karena sudah viral sejak beberapa hari yang lalu. Video ini adalah reminder atas strategi perang kita yang mungkin keliru dalam menghadapi Covid-19. Sebab, jika benar kita memang 'perang melawan Corona', maka seperti perang-perang lain, tenaga medis bekerja di garis belakang: mengobati mereka yang terluka. Ia mengingatkan bahwa kita, masyarakat secara kolektif, berada di garis terdepan.

Dengan demikian maka medan pertempuran (battle) pertamanya adalah pribadi kita, senjata dan pertahanan kita adalah cuci tangan dan pakai masker. Masih di garda depan, adalah lingkungan kita. Orang masjid tentu bertempur dengan cara tidak berjamaah, menutup masjid, meliburkan Jumatan, menghentikan pengajian, dsb. Di kampung, senjata kita adalah kepedulian terhadap lingkungan, mulai dari mendata warga yang ODP; membantu mengawasi mereka yang wajib isolasi mandiri, dan seterusnya.

Di unit yang lebih besar, kabupaten, provinsi, dan negara, tentu aparat pemerintah yang kita harapkan hadir. Kita ini mau diapakan? Kita debat soal lockdown atau tidak, karantina nasional atau lokal, adalah debat soal strategi perang di garda depan yang tidak jelas komandonya mau apa. Kalau emoh lockdown, langkahnya apa? Emoh tapi mbulet saja ya bikin rakyat bingung.

Saya tonton pidato perdana menteri Belanda yang dengan terbuka bilang. Kita biarkan kalian terpapar corona, kita pakai strategi Herd Immunity. https://www.youtube.com/watch?v=ozmh40wwAGc Saya tidak sedang mendukung agar kita mengikuti Belanda. Poin saya, kita ingin tahu strategi pemerintah apa! Lockdown model China, massive tes model Korsel, Herd Immunity model Belanda, atau mau bikin model sendiri? Terserah. But you have to do it clearly and right!

Jika membingungkan, tindakan sepihak di level masyarakat: lockdown kampung. Sebab, pemerintah pusat hanya bicara soal rencana dan wacana karantina. Saat ditanya wartawan Jumat lalu, kapan kebijakan itu keluar? Jawabnya, "Nanti hari Senin kita rapatkan!" Jumat sampai Senin itu 3 hari. Jika pemerintah sadar dampak eksponensial wabah ini, 3 hari itu mengerikan sekali. Tidak terlihat sense of emergency dari jawaban itu!

***
Koreksi lain yang bisa kita ambil dari video itu adalah cara kita memperlakukan dokter sebagai "ahli wabah". Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para dokter, mereka adalah ahli penyakit manusia, tindakannya kuratif. Objek pekerjaannya adalah “tubuh pasien”, cara menyembuhkannya dengan obat (atau tindakan medis lainnya). Padahal wabah (endemi/epidemi) itu penyakit masyarakat, obatnya "kebijakan" kesehatan masyarakat. Ilmunya ada di para ahli kesehatan masyarakat, bil khusus epidemiologist. Bukan dokter.

Makanya, jangan heran kalau menkes yang dokter itu miskomunikasi, jubir yang dokter itu bikin blunder. Di UIN, kita akrab sekali dengan pepatah ini إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Kalau wabah ini adalah kemacetan di jalan raya, dokter itu montir untuk mobil mogoknya. Tetapi bagaimana arus dipindahkan atau membawa mobil itu keluar dari tengah arus lalu lintas, we need someone else. Sayangnya, suara para ahli kesehatan masyarakat belum banyak didengar, mereka juga tidak diminta memimpin garda depan peperangan ini. Kita hanya bisa bertanya dalam hati (karena mungkin takut dibully), "kapan pak menteri yang menghilang itu diganti?"


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama