Rejeki Yang Diatur


Mungkin Anda pernah dengar bahwa ada tiga hal yang sudah ditakdirkan: jodoh, rejeki, dan mati. Meski pernah atau sering dengar, kita sering melupakan kaidah itu. Kadang, mau nyumbang saja kita mikir, lha koq pengeluaran untuk nyumbang besar sekali? Mau kasih infaq juga ngitung lagi, koq lebih besar dari pengeluaran untuk ANU. Apalagi zakat, yang memang sejak dari sononya pakai hitungan sekian persen, tambah ngitung lagi.

Beberapa hari ini saya menemukan bukti tentang rejeki yang diatur itu dalam hal sederhana. Bukan saya yang dapat rejeki, tetapi orang lain.

Pertama, saya mampir makan untuk beli nasi Padang. Eh, ternyata di dalam tidak ada menu nasi Padang. Jowo kabeh. Setelah ambil makan dan duduk, saya baru sadar warung ini sudah berganti pengelola. Padahal, kalau saya tahu ini bukan warung Padang, saya tidak akan mampir. Jadilah, rejeki warung Padang pindah ke warung Jowo. Tahu enak dan murah, besoknya saya mampir lagi. Kali ini, saya ngajak anak saya. Tambahlah rejeki si pemilik warung Jowo. Dia tidak iklan, dia tidak menarik saya mampir, tetapi dia dapat rejeki yang sudah diatur itu.

Kedua. Kadang, saya mampir beli jajan pasar untuk ngemil di kantor. Warung-warung jajan pinggir jalanan itu biasanya menggunakan model orang titip dagangan daripada jual hasil olahan sendiri. Suatu ketika, saya ambil jajan. Agak tergesa-gesa, saya ambil kue warna coklat. Saya kira itu kue semisal bika ambon yang warnanya coklat itu (saya tidak tahu namanya). Sampai di kantor, ternyata yang saya beli cuma wajik. Walah. Si penjual wajik dapat rejeki ini meskipun dari orang yang salah beli.

Itu hal-hal kecil saja memang. Tetapi dalam hidup ini, skenario Tuhan itu bekerja tanpa ukuran besar kecil. Kita ini siapa. Di mata-Nya kita ini kecil. Semua urusan kita ya kecil saja bagi-Nya. Kita saja yang sok besar dan suka membesar-besarkan hal kecil. Ya kan? Termasuk tulisan ini. Panjang lebar cuma ngomong salah beli wajik 🤣

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama