Kepedean Iman


Di mushola dan masjid yang tanpa tuan rumah, seperti di terminal, bandara, dan stasiun kereta, saya sering berjumpa situasi ketika para musafir, yang tidak saling kenal, memerlukan imam salat. Saya perhatikan beberapa kali, atau acap kali, orang-orang dengan penampilan seperti ITU dengan percaya diri mengajukan diri jadi imam. Tanpa basa-basi menawarkan ke yang lain, langsung maju memimpin salat. Setelah ia baca al-Fatihah, tahu lah kita seberapa bagus ngajinya. Jujur saya tidak bisa menahan diri untuk 'gembreneng' dalam hati, koq ya tega orang begini jadi imam.

Dalam hidup saya, baru sekali saya melakukan tindakan tunjuk diri itu. Situasinya, di mushola Pantai Depok dengan jamaah yang saya lihat kira kira seumur SMP dan SMA. Dari segi pakaian saya pakai baju dan mereka pakai kaos oblong semua. Selain di momen itu, saya hanya jadi imam karena sedang berjamaah dengan anak istri lalu disusuli musafir lain.

Nah, dengan pengalaman pribadi saya itu, saya jadi penasaran. Apakah mereka yang pede tunjuk diri jadi imam itu menganggap orang lain seperti anak anak SMP? Atau, lebih dari itu, karena dia merasa telah beragama lebih baik dari yang lain? Merasa lebih beragama, merasa lebih dekat dengan Tuhan, dan menggunakan perasaan itu untuk menjadi tindakan berimplikasi sosial, bisa jadi sumber masalah. Solat jamaah itu tadi contoh kecil hidup berjamaah. Jika orang orang dengan type agama ITU bisa tunjuk diri dalam salat jamaah, ya demikian pula di masyarakat. They think they know better, they do better.

Proses peradilan di MK yang menguliti habis kelemahan dalil pemohon, misalnya, mereka anggap lelucon. Analisis ahli hukum, mereka anggap pembodohan terhadap rakyat. Maka banyak meme beredar menertawakan proses hukum yang sangat serius dan bermartabat di MK itu. Ada banyak orang yang merasa lebih ngerti hukum daripada mereka yang di mahkamah. Persis seperti penonton bola yang menganggap Messi goblok karena Argentina gagal terus di final. Itu dalam hal hukum.

Lebih parah lagi dalam hal agama. Ngaji Qur'an belepotan begitu, tunjuk diri jadi imam di panggung MK. Seolah yang lain tidak bisa membaca Qur'an, sehingga harus ia bacakan. Seolah para hakim tidak sedang mengadili dengan dasar takut kepada Allah, sehingga harus ia ingatkan. Seolah hanya dia yang ingat Allah, bahkan seolah Allah di sampingnya (ikut melengkapi bukti yang kurang). 

Seperti dalam salat berjamaah di terminal itu, saya jadi mikir... Apa perlu besok saya tunjuk diri jadi imam biar orang yang corak agamanya begitu tahu diri? Dalam hal salat dan ibadah, saya pilih tidak. Saya pilih jadi jamaah yang memaafkan saja. Wallahu al-musta'an. Tetapi dalam hal bermasyarakat, orang yang kepedean dalam beragama itu harus dilawan. Jangan biarkan mereka merasa paling sesuai agamanya dalam berpolitik. Marai tuman!

(Facebook)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama