Rekam Jejak Google Trend dan Pemilu Indonesia

Soal kepercayaan kepada Quick Count, saya sudah percaya sejak dulu dan sempat menulis argumennya di sini http://maftuhin.blogspot.com/2014/07/quick-count-bisa-dipercaya-kecuali-qc.html. Pada pemilu 2014, saya mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan menggunakan Google Trend sebagai prediktor hasil pemilu (http://maftuhin.blogspot.com/2014/07/dapatkah-google-memprediksi-pemenang.html). Berdasarkan tiga pemilu di Amerika, Google Trend cenderung benar dalam memprediksi. Di Indonesia? 2009, belum ada data. 2014, prediksi Google Trend dikonfirmasi oleh kemenangan Jokowi. Tahun ini? Meskipun belum ada pengumuman KPU, tetapi karena saya percaya Quick Count, maka dapat disimpulkan bahwa Google Trend gagal memprediksi hasil.

Beberapa hari menjelang kampanye, saya memantau dengan cemas Google Trend. Data yang diberikan "mencemaskan" karena tergantung bagaimana kita setting filternya. Satu tahun, Jokowi- Prabowo 22-20 (menang Jokowi 2 poin); tetapi dengan filter 3 bulan terakhir, Prabowo yang unggul satu poin 19-20.
12 Bulan
Data Trend 3 bulan

Tidak ada kaidah yang dapat dirujuk untuk menentukan mana yang valid dijadikan data. Karena itu saya mencoba melihat kembali tahun 2014. Pada setting Trend satu tahun, Jokowi unggul telak 18-12 (6 poin).


Sedangkan pada setting Trend 3 bulan, Jokowi unggul 2 poin, atau mendekati hasil riil pemilu yang menang tipis.

Dengan data 2014 itu, tidak sulit untuk menyatakan bahwa Google Trend dapat memprediksi hasil pemilu. Ia benar memprediksi tiga pemilu Amerika dan benar pula memprediksi pemilu Indonesia. Nah, problemnya muncul pada Pemilu 2019. Dua filter Google menghasilkan dua data berbeda, ada yang menang Jokowi, ada yang menang Prabowo.

Saya sendiri tertarik untuk mengajukan dua alternatif penjelasan.

Pertama, data Google Trend dapat dijadikan rujukan kalau rentang waktunya minimal 1 tahun terakhir. Kesimpulan ini didukung oleh kasus Amerika dan Indonesia 2014, dengan mengabaikan bahwa harusnya Jokowi menang telak di 2014. Saya kira Anda setuju dengan saya untuk mengatakan bahwa kesimpulan semacam ini ya.... tidak terlalu meyakinkan karena cenderung tebang pilih.

Kedua, saya lebih suka alternatif kedua ini, data Google Trend tidak dapat digunakan untuk memprediksi Pemilu di negara yang penetrasi internetnya masih rendah seperti di Indonesia (sekitar 50% tahun 2019). Google Trend bisa memprediksi Amerika karena tingkat penetrasi internetnya sudah tinggi (75%, menurut salah satu data).

Penjelasan kedua itu lebih saya pilih karena dua argumen. Argumen pertama, Google itu mesin yang bekerja di Internet, maka faktor internet adalah penting untuk diperhitungkan. Semakin tinggi pengguna internet di sebuah negara, semakin ia akurat. Sebaliknya, semakin rendah penggunaan internet di sebuah negara, semakin tidak akurat datanya. Tahun 2024, Google Trend mungkin bisa jadi prediktor yang akurat.

Argumen kedua, menurut hasil exit poll LSI Denny JA, kemenangan Jokowi ditentukan oleh tiga kelompok: minoritas, wong cilik, dan NU. Anda lihat, dua kelompok terakhir itu boleh dibilang adalah kelompok yang relatif jauh dari Internet. Kalau Anda amati di Twitter dan Youtube, lihat saja dominasi pendukung Prabowo. Wong cilik dan wong NU  mana sempat ngurusi tweets.

Gitu ya?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama