Kisah 'Indah' Jurnal al-Jam'iah

Jurnal ilmiah bagi perguruan tinggi adalah bunga-bunga di tamannya. Kalau mau melihat posisi akademik sebuah perguruan tinggi, lihatlah jurnalnya.

Kemarin saya berkesempatan menemani dua senior saya al-Makin dan Saptoni, untuk menerima dua rombongan tamu berbeda tetapi dengan tujuan yang sama: berguru ke al-Jami'ah. Para tamu itu datang dari pusat-pusat penelitian di dua kementerian: pertama, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup; kedua dari Kementerian Sosial. Kita garis bawahi: bukan dari Kementerian Agama.

Wajar saja mereka datang ke al-Jami'ah. Ini satu dari sedikit jurnal terkareditasi A dan jurnal sosial humaniora pertama di Indonesia yang terindeks Scopus. Sudahlah, pokoknya al-Jamiah itu keren, kelas wahid.

Berbeda dengan rangking-rangking 'aneh' yang tidak terkait kualitas perguruan tinggi seperti Webometrik atau bersertifikat 'pasar' seperti ISO, al-Jami'ah mewakili kualitas akademik. Saya tidak mengatakan ISO dan Webo itu tidak penting, tetapi mereka tidak mencerminkan "kualitas akademik" yang menjadi core business perguruan tinggi, itu saja. ISO terfokus ke adminsitrasi. Webometrik  bisa disiasati secara SEO, nggak perlu upaya akademik.Kualitas seperti al-Jamiah tidak bisa didapat 'instant'. al-Jami'ah itu mewakili 'budaya unggul', bukan administrasi.

Lalu darimana keunggulan al-Jami'ah itu berasal? Karena dua tamu al-Jamia'ah itu datang untuk studi banding, tentu saja mereka datang untuk 'membanding-badingkan' apa yang al-Jamiah punya dan apa yang mungkin mereka punya. Kita mungkin harus sepakat: keunggulan itu mahal! "Jadi, pak, berapa anggaran al-Jamiah?" Singkatnya begitu pertanyaan para tamu. Detilnya: berapa tarif mitra bestari, redaktur, penangggungjawab, penulis, dst. yang apesnya tidak tercantum di SBU (standar Biaya Umum).

Ya, intinya, berapa? Saptoni yang sudah ditinggal pergi mengajar oleh al-Makin, dengan senyum dan tegas menjawab, "Kami tidak kerja gratisan pak. Kami dibayar mahal. Lumayanlah pokoknya..." dalam jeda sekian detik yang disertai keheningan para tamu yang diliputi tanda tanya seberapa mahal, Saptoni segera melanjutkan, "125 juta untuk editor per terbit!" Bukannya kaget, semua tamu langsung tertawa. Mereka tahu persis arti angka itu, lha wong sama-sama pakai SBU!

Budaya unggul di al-Jami'ah memang mahal, tetapi tidak terbayar oleh anggaran. Orang-orang al-Jamiah seperti al-Makin dan Saptoni itu bahkan tidak punya SK, tanpa tunjangan struktural, apalagi tunjangan kinerja dan remunerasi. Kata Saptoni, "ini kan pekerjaan sampingan." Sampingan, yang artinya, pekerjaan yang terus di sampingnya kemana pun dia pergi. 24 jam, 7 hari.

Saat disebutkan bahwa para editor, termasuk yang dari berbagai universitas ternama di luar negeri, dibayar dengan terimakasih, para tamu hanya bisa ngiri. Koq bisa? Bisa saja.

Kalau Anda sudah unggul, peduli dengan keunggulan dan mutu, Anda akan mudah bertemu dengan orang-orang yang unggul dan bermutu. Kalau komitmen Anda kepada ilmu dan kualitas, bukan tunjangan kinerja dan remunerasi, maka Anda akan bertemu dengan orang-orang yang juga siap memberikan ilmu dan kualitasnya kepada Anda, tak peduli gaji, tak peduli remunerasi.

Pun demikian, saya sungguh berharap (meski al-Makin dan Saptoni mungkin tak terlalu berharap), UIN Sunan Kalijaga lebih 'ngopeni' mereka. Jangan sampai kalau ada studi banding lagi kita tidak bisa memamerkan fasilitas apa saja yang sudah diberikan oleh UIN untuk 'ngopeni' al-Jamiah. Agar para tamu bisa pulang dengan kepala tegak menghadap bos-bos mereka, "Pak UIN Sunan Kalijaga memberi perhatian yang besar kepada al-Jamiah, Bapak juga dong." Nasib para pengelola jurnal dimana saja hampir sama, 'ora kopen' tetapi penuh komitmen. Mari kita rawat komitmen mereka agar taman ilmu perguruan tinggi itu bisa terus berbunga.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama