Hukum Islam dan LGBT


Tulisan yang dimuat di Koran Tempo hari ini dengan judul "Hukum islam dan LGBT" versi asli dan lengkapnya saya muat di sini dengan judul asli Fatwa LGBT. 


FATWA LGBT
Arif Maftuhin, Pengajar Fikih Sosial di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tulisan Mun’im Sirry tentang “Islam, LGBT, dan Perkawinan Sejenis” yang dimuat koran ini, mewakili simplifikasi relasi antara LGBT, sodomi dan pernikahan sejenis. Sebelum melangkah kepada fatwa-fatwa melarang atau membolehkan pernikahan sejenis, terma LGBT sendiri tidak boleh diabaikan sebagai problem diskusi hukum Islam. Perlu diingat bahwa tidak ada istilah “LGBT” dalam hukum Islam (Fikih). Kitab-kitab Fikih memiliki tradisi kuat untuk membicarakan setiap pasal perbuatan manusia secara bahasa (lughatan) dan terminologis (syar’an). LGBT tidak dikenal secara lughatan maupun syar’an.

Secara bahasa, LGBT mengacu kepada empat istilah yang digunakan untuk empat jenis manusia yang berbeda: lesbian, gay, bisexual, dan transgender.  Dalam kamus Merriam-Webster, lesbian diartikan dengan “a woman who is sexually attracted to other women: a female homosexual” alias perempuan homoseksual. Lawan kata lesbian adalah gay,  yang biasa digunakan untuk laki-laki homoseksual.

Dalam bahasa Arab, lesbian diterjemahkan sebagai mitsliyyah; sedangkan gay disebut mitsly dari kata mitsl yang artinya sejenis. Istilah lengkapnya adalah al-mitsliyyah al-jinsiyyah (homoseksual). Istilah ini tidak popular digunakan dalam literatur Fikih. Fikih lebih sering menggunakan istilah al-liwath untuk perbuatan seks sejenis (homoseksual) dan luthi untuk pelakunya. Disebut demikian karena mengacu ke kisah kaum Nabi Luth di al-Qur’an.

Berbeda dengan lesbian dan gay yang jelas mengacu kepada orientasi seksual, istilah bisexual dapat diartikan “orang yang tertarik kepada dua jenis seks sekaligus”  atau “orang yang berkelamin ganda (hermaprodithic)”. Dalam kamus al-Ma’any biseksual  diartikan  sebagai  “orientasi seksual kepada sesama dan lawan jenis (tsuna’iy al-jins) maupun orang dengan kelamin ganda  (khuntsa atau mukhannats).

Menurut definisi APA (American Psychological Assosiation), disiplin yang dianggap otoritatif berbicara masalah ini, bisexuality adalah ketertarikan atau prilaku seksual dengan laki-laki dan perempuan sekaligus. Riset menemukan kebanyakan orang memiliki kecenderungan ganda ini, hanya saja tingkatnya tidak siginfikan dan didominasi oleh salah satu kecenderungan untuk hetero atau homo.

Transgender  adalah hal lain lagi. APA menegaskan transgender tidak terkait dengan orientasi seksual. Transgender  hanya terkait dengan berbedaan antara jenis kelamin yang diberikan masyarakat dengan identitas yang ia yakini. Atau perbedaan antara anatamoi tubuh dengan identitas kejiwaannya.  Masyarakat menyebutnya perempuan, tetapi ia merasa dirinya laki-laki. Atau sebaliknya.  Born to a wrong body, sederhananya demikian. Karena tidak terkait orientasi seksual, seorang transgender bisa menjadi heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.

Tiga Klasifikasi dan Fatwa

Seperti terlihat dalam diskusi akademik terkait LGBT, ada beberapa kategori penting  dan  tumpang tindih jika menggunakan istilah tunggal LGBT. Keruwetan ini terkait tiga kategori yang penting diperhatikan dalam merumuskan sebuah fatwa hukum Islam: masalah terkait anatomi seksual; orientasi seksual; dan prilaku seksual. Tiga masalah yang dapat berimplikasi kepada tiga fatwa berbeda.

Fikih secara umum hanya mengatur prilaku seksual. Prilaku seksual antar dua individu dinyatakan halal jika ia didasarkan pada salah satu dari dua jenis akad: akad nikah dan akad perbudakan. Pernikahan yang sah didefinisikan sebagai pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan syarat-syarat yang rinciannya ada di dalam kitab-kitab Fikih. Di Indonesia, pernikahan laki-laki dan perempuan diatur oleh UU No.  1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi yang beragama Islam.

Hubungan seksual di luar nikah yang halal dan kini sudah tidak dapat dijumpai lagi adalah hubungan seks antara majikan laki-laki dan para budak perempuannya. Fikih membolehkan hubungan demikian dan ada aturan detail tentang implikasi-implikasi hukum terhadap anak yang dihasilkan, nasab, hingga kewarisan. Saya tidak akan membicarakan detil di sini.

Di luar dua akad tersebut, ada lagi nikah kontrak (mut’ah) yang diperdebatkan kehalalannya. Umumnya pendapat mengatakan nikah mut’ah adalah akad yang haram.  Hubungan seks yang diharamkan dalam Fikih ada dua: hubungan heteroseksual di luar nikah yang disebut zina dan hubungan sejenis yang disebut al-liwath (homoseksual).

Sekali lagi perlu digarisbawahi: semua pasal yang dibahas Fikih adalah tentang prilaku seksual. Lesbian, gay, dan bisexual  adalah orientasi seksual. Transgender adalah anatomi seksual. Secara materiil, orientasi dan anatomi seksual tidak berimplikasi langsung kepada “prilaku seksual” yang dilarang. Sama seperti seorang heteroseksual yang tidak serta merta melakukan zina.

Dalam pandangan Fikih, orientasi seksual itu tidak dapat dijatuhi hukuman. Orientasi terdapat dalam pikiran. Fikih tidak mengatur apa yang dipikirkan manusia. Misalnya, orang yang berpuasa dilarang berhubungan badan. Kalau orang berpikir soal hubungan badan, secara Fikih puasanya tidak batal. Menjadi gay/lesbian/bisexual, selama itu di wilayah orientasi, tidak menjadi objek hukum Islam.
Kalau pun mereka yang konservatif tidak mau mengakui pandangan bahwa menjadi lesbian dan gay dapat bersifat kudrati, maka harus diakui bahwa keadaan menjadi gay dan lesbian semata tidak dapat dijatuhi sanksi hukum.  Seorang lesbian yang tertarik untuk berhubungan seks dengan seorang perempuan, statusnya sama dengan seorang suami yang tertarik berhubungan seks dengan perempuan lain. Pikiran kotor suami tidak dapat dihukumi oleh Fikih.

Apakah boleh? Tentu saja, agama tidak mengizinkan orang berpikiran kotor. Tetapi ‘agama’ di sini tidak dalam pengertian Fikih, melainkan akhlak atau moral. Sebab agama tidak hanya mengatur perbuatan manusia, tetapi juga hatinya, membersihkan moral pemeluknya.  Karena ini urusan moral, tidak ada hukuman materiil yang dapat dijatuhkan.

Dalam hal pria bisexual yang menikah dengan perempuan idamannya, status hukum Fikihnya sama persis dengan serang pria heteroseksual yang menikah dengan seorang perempuan dan memilih tidak poligami. Hanya tukang fatwa ceroboh yang memvonis prilaku pria bisexual yang menikahi perempuan sebagai perbuatan haram.

Berbeda dengan problem orientasi seksual para LGB, problem anatomi seksual transgender bukan topik baru dalam Fikih. Diskusinya melimpah. Tidak tentang status hukum menjadi transgender, tetapi tentang bagaimana memastikan jenis kelaminnya agar ia mendapatkan hak dan kewajiban hukum yang tepat. Jika dianggap laki-laki, ia mendapatkan warisan yang lebih banyak, misalnya.
Literatur Fikih, sayangnya, sangat miskin perspektif dalam mendiskusikan transgender. Referensi pengetahuannya masih ‘kuno’.  Temuan-temuan riset modern dalam biologi dan genetika belum secara maksimal dilibatkan untuk mendiskusikan status hukum transgender.

Pesan moralnya, untuk melahirkan sebuah fatwa yang komprehensif dan humanis, Fikih perlu membuka diri dan tidak memvonis mentah-mentah halal atau haram. Masalah LGBT lebih rumit dari soal haramnya sodomi atau legalitas pernikahan sejenis.

(Op-ed, diterbitkan di Tempo, 7 Maret 2016)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama