Ramadan 18: Cara Melatih Anak untuk Tidak Jujur

Buku Laporan Kegiatan Ramadan

Puasa itu harusnya mengajari kita jujur. Entah berapa kali harus diceramahkan. Berapa kali harus dikhutbahkan. Berapa kali harus diingatkan. Berapa tahun saya sudah mendengar ajaran ini: puasa melatih kejujuran. Bosan, sampai.

Konon, dalam ibadah lain kita bisa berbohong dan menjadi munafik. Sholat bisa pura-pura. Haji bisa dipasang gelarnya. Zakat dan sedekah bisa dipamerkan. Tetapi puasa tidak. Kau bisa saja pura-pura lapar. Pura-pura lemas. Pura-pura haus. Tetapi kau tahu pasti, kau hanya pura-pura puasa. Karena puasa ibadah hati. Ibadah sunyi, mestinya.

Tetapi, sejak jaman Nabi pun sudah diingatkan. Berapa panyak dari kita hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Megap-megap melawan godaan makanan dan minuman, tetapi tunduk kepada perilaku hewan.

Malam itu. Seperti malam-malam lain. Anak-anak mengerumuniku sehabis salat taraweh. Mereka membawa buku-buku laporan yang ditugaskan sekolah mereka. Saya selalu memanfaatkan waktu untuk menyapa mereka: sekolahmu dimana? kelas berapa? Sakitnya tuh kalau mereka yang bertanya, "Tadi ceramah apa?" Sudah berbusa-busa kita bicara, ternyata mereka tak ingat apa kata kita...

Lebih sakit lagi ketika salah satu anak membawa buku dan meminta saya untuk merapel tanda tangan: empat hari sekaligus! Saya bilang, "Dik, saya kan cuma ceramah sekali? Mengapa tanda tangan empat kali?" Anak itu menjawab, "Kata ibuku nggak apa-apa pak, daripada dimarahi Bu Guru karena nggak taraweh kemarin."

Duh. Ini bulan puasa. Katanya bulan latihan kejujuran. Tetapi mengapa tega kita latih anak-anak kita, sejak di dini, di bulan suci, untuk menipu demi keselamatan diri?

Saya menolak tanda tangan. "Dik, tolong bilang ke ibu ya. Lebih baik jujur." Itu saja yang bisa saya katakan. Entah ibunya terima atau tidak.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama