Jangan Percaya Soekarno Lahir di Surabaya!

Saya orang Blitar dan bukan sejarawan profesional, walaupun pernah mengambil kuliah tentang teori sejarah, historiografi, dan metode penelitian sejarah dari para guru terbaik seperti Pak Joko Suryo, Pak Bambang Purwanto, dan Pak Margana. Jadi, saya akan menulis dengan segala keterbatasan saya dan karena itu tidak akan menyentuh substansi kebenaran historis kelahiran Soekarno. Ini toh hanya tulisan di blog. Saya hanya ingin membela ingatan saya saja.

Ingatan apa? Saya lahir di Blitar. Setiap saya menyebutkan kota kelahiran saya, dimana pun, orang selalu merespon, "Wah sama dengan Bung Karno dong!". Oh ya? Setahu saya Surabaya! (Berlagak kaget, baru tahu kalau ia lahir di Blitar, lalu berlagak sudah baca buku Cindy Adams dan menghafal isinya sampai bab dan halaman, yang menyebut persis tanggal lahir dan kotanya seperti selebritis Facebook Sidrotun Naim yang punya 5000 followers).

Saya juga ingat di luar kepala sebuah lagu campursari (bukan bukti sejarah) yang memuja Blitar kang kawentar (dan bikin bergetar itu). 


Dalam teks lagu itu disebutkan

Blitar kutha cilik seng kawentar
Edi peni gunung kelud sing ngayomi
Blitar jaman Jepang nate gempar
Peta brontak sing dipimpin Supriyadi
Blitar nyimpen awune sang noto
Mojopait ning candi Penataran
Blitar nyimpen layone Bung Karno
Proklamator lan Presiden kang kapisan

Ono crito jare patih Gajah Modo
Ingkang bisa nyawijikne nusantoro
Lan ugo Bung Karno sing kondang kaloko
Ning tlatah Blitar lair cilik mulo

Ora mokal Blitar dadi kembang lambe
Ora mokal akeh sing podo nyatakne
Yen to geni ngurupake semangate
Yen to banyu nukulake 

Nah, ketika Jokowi dibully di medsos (nggak susah menebak siapa mereka dan siapa yang bandwagoning membully), saya jadi kaget setengah malaikat. Sebagai orang Blitar, saya merasa separoh identitas saya hilang. Bukan saja soal Soekarno yang tiba-tiba menjadi arek Suroboyo, tetapi soal identitas diri yang dibentuk sepanjang hayat saya berinteraksi dengan rakyat Indonesia dan mengindetikkan orang Blitar dengan Soekarno. (BTW, pernah denger nggak Soekarno itu disebut 'arek Suroboyo'?)

Jadi, sodara, saya belum bisa diyakinkan kalau Soekarno itu lahir di Surabaya.

Pertama, saya meragukan isi sumber primernya. Dokumennya boleh jadi otentik, tetapi isinya mungkin saja tidak valid. Sejauh yang saya baca, ini bukti yang digunakan:


Kalau dokumen yang kabarnya dari ITB itu valid, maka mestinya kita juga menerima bahwa tahun kelahiran Soekarno itu 1902. Tidak ada satu sumber pun yang mengakui tahun ini. Semua sepakat, Soekarno lahir tahun 1901. Kalau tahunnya tidak benar, mengapa kota Surabaya dianggap valid?

Menurut saya, zaman Soekarno itu bukan zaman yang dokumen kelahiran dianggap penting. Secara administrasi, karena tidak ada akta kelahiran, bisa jadi penyebutan Surabaya itu hanya langkah sederhana saja untuk memudahkan pendataan karena Soekarno lulusan HBS di Surabaya.

Buku-buku yang kabarnya menyebut Soekarno lahir di Surabaya (cek di sini), kemungkinan mengandalkan dokumen ini.  
Penelitiannya pun didukung puluhan buku sejarah. Di antaranya, buku berjudulSoekarno Bapak Indonesia Merdeka  yang ditulis Bob Hering, Ayah Bunda Bung Karno dengan penulis Nurinwa Ki S Hendrowinoto (2002), Kamus Politik karya Adinda dan Usman Burhan (1950).
Selain itu, kata dia, buku Ensiklopedia Indonesia (1955 dan 1985), serta buku Im Yang Tjoe (1933) yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul Soekarno Sebagi Manoesia (2008). 
Perlu juga dicatatat, buku bukan sumber sejarah. Sebanyak apa pun buku menyebut tidak akan memperkuat bukti sejarah. Sebab, selain mungkin hanya saling mengutip, buku ditulis oleh orang-orang yang tidak sezaman. Buku, paling banter, hanya jadi sumber sekunder.

Kedua, berbeda dengan umumnya buku-buku itu, buku otobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams-lah yang menurut saya justru mengindikasikan Blitar. Seperti saya sebut di atas, orang tua Soekarno pasti sama seperti orang-orang Jawa di masa itu pada umumnya (bahkan hingga zaman kakek dan ayah saya), tanggal lahir tidak penting. Dua hal yang penting bagi orang Jawa: Hari lahir dan weton (bukan tanggal, bukan tahun). Sedangkan tahunnya, yang diingat adalah peristiwa besarnya. 

Saya pernah bertanya, kapan bapak saya lahir, beliau menjawab, "Setahun-dua tahun sebelum Jepang datang". Sedangkan kakek saya juga menjawab, "Sekitar letusan Gunung Kelud yang terjadi pada hari H pasaran P" (Saya lupa persisnya Selasa Legi atau apa tetapi kalau kita cek ke sejarah letusan adalah letusan tahun 1919).

Seperti bapak dan kakek saya, Soekarno anak orang biasa. Orang miskin, malah, ia sebut di buku itu. Agak aneh jika Bapaknya sudah secanggih orang sekarang atau orang Belanda yang mencatat detil hari dan tanggal lahir. Kabar tentang adanya prasati kelahiran Soekarno di Surabaya itu juga bertentangan dengan nalar zamannya. Emang mereka tahu yang lahir itu calon presiden pakai prasasti segala? Yang pasti ini kisah Soekarno tentang kelahirannya:


Dari teks itu ditafsirkan (saya juga tidak mengatakan pasti, hanya penafsiran), ia lahir di sebuah daerah dekat Gunung Kelud. Blitar tentu saja lebih akurat daripada Surabaya kan?

Sejarah perjalan masa kecilnya pun lebih dekat ke Blitar karena ia diasuh kakeknya yang orang Tulungagung, sebelum pindah ke Mojokerto, dan kemudian kos di Surabaya, di rumah Cokroaminoto (kalau dia orang Surabaya, untuk apa kos di sana?). 

Jadi, jangan buru-buru percaya. Pernyataan keluarganya pun belum tentu bisa menjadi bukti asal-usul karena Soekarno dulu orang biasa, anak orang miskin, bukan orang penting. Kontroversi ini konon sudah ada sejak beliau masih hidup, dan beliau biarkan dalam dua versi: Blitar dan Surabaya. Mungkin, Soekarno sendiri tidak ingin membuka masa lalunya.

1 Komentar

  1. Sudah mengutip Cindy Adams, tapi rupanya cuma screen shot saja dari Google Books ya. Padahal di buku yang sama halaman 21 jelas Bung Karno bilang: "He (bapaknya) was sent to Surabaya and there I was born". Bahwa orang dulu tak terlalu peduli tempat tanggal lahir, memang banyak begitu. Tapi orang tua Sukarno dan Sukarno sendiri jelas educated. Raden Sukemi itu orang "departemen pengadjaran", ngerti birokrasi, mustahil tidak ngerti tempat lahir. Apalagi Sukarno sendiri. Jadi masih perlu argumen macam mana lagi untuk meragukan Bung Karno lahir di Surabaya? ... Bahwa kalau dia kelahiran Surabaya, kenapa kos di Surabaya, kan setelah pindah ke Mojokerto, tak ada lagi rumah di Surabaya. Mau tak mau ketika kembali ke Surabaya untuk sekolah HBS, Sukarno harus kos. Lahir di suatu tempat tidak berarti lantas harus memiliki rumah di tempat itu. So simple. Kenapa diperumit?

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama