Puasa 9 Dzul-hijjah, Harinya tidak Penting


Tulisan berjudul "Puasa Arafah atau Puasa Mina" ini dimuat di koran Jawa Pos. Saya bukan pembaca Jawa Pos dan jujur tidak kenal kualifikasi si penulis untuk menulis topik yang para ahli Falak pun tidak menemukan kata sepakat.

Dalam diskusi ahli, bahasanya argumentatif, punya dasar ilmu, punya dasar untuk mengatakan A dan B sebagai pendapatnya. Penulis yang satu ini, menggunakan argumen 'aneh': kata teman saya yang orang Mesir. Seolah-olah kalau sudah orang Arab yang ngomong, otomatis agamanya lebih benar daripada kita.

Saya tidak akan menulis panjang lebar tentang metode mana yang lebih tepat dalam menentukan kalender Hijriyah. Saya hanya akan mengomentari "sesat  pikir" yang dipakai dasar tulisan di Jawa Pos itu.

Sumber masalahnya adalah: Saudi wukuf hari Jumat dan kita puasa Arafah hari Sabtu. Masalah ini timbul secara tidak sadar karena orang, penulis artikel dan kebanyakan orang, mengabaikan fakta bahwa kita tengah mencampuradukkan dua sistem kalender (Syamsiyah dan Qomariyah) dalam satu logika.

Saya tanya sekarang, menurut dalil-dalil Fiqih, apakah ada ketentuan tentang wukuf di Arafah pada hari Jumat? Mbok dibolak-balik dari awal sampai akhir, dalil Qur'an, Hadits, kitab-kitab ulama salaf dan khalaf, tidak akan ada ketentuan soal "wukuf pada hari Jumat". Kita semua sepakat, dalil-dalil juga jelas bahwa "Wukuf itu tanggal 9 Dzulhijjah". Ada yang tidak setuju?

Kalau kita sepakat bahwa wukuf itu tanggal 9 Dzulhijjah, apakah kita akan sepakat juga bahwa puasa Arafah harus dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah? Mungkin orang seperti Agus Musthofa akan mengatakan begitu: "Puasa Arafah pada hari Jumat". 

Di sinilah sesat pikir itu terjadi! Ia mengira sistem "hari" dan "tanggal" itu mengacu kepada sistem kalender yang sama. Ia, saya yakin, lupa bahwa sistem hari yang kita pakai mengacu kepada Sistem Syamsiyah dan menggunakan konvensi garis tanggal internasional yang tidak kait-terkait dengan Kalender Hijriyah. 

Ingat, setiap harinya, bumi kita bisa mempunyai dua hari pada saat yang bersamaan: Misalnya, Sabtu 9 pagi di Indonesia adalah Jumat 9 malam di Amerika! 

Mengapa demikian? Karena masyarakat internasional menyepakati, berdasarkan sistem Syamsiyah, dua hal: Pertama, untuk memulai hari dan tanggal baru di garis International Date Line (garis 180 derajat BT) dan untuk membedakan siang dan malam ditetapkan titik tengah di Greenwich, yang dulu disebut Greenwich Mean Time dan sekarang menjadi Coordinated Universal Time (UTC). Lihat video berikut:


Artinya, kata "bersamaan" waktunya itu relatif, didefinisikan oleh sistem kalender internasional tadi. Kalau kita hanya punya satu sistem kalender, kalender Syamsiyah saja, tentu logika Wukuf Jumat= Puasa Arafah Jumat bisa diterima. Karena keduanya "bersamaan" dalam sistem kalender Syamsiyah dan kebetulan Indonesia dan Saudi Arabia itu sama-sama di barat garis tanggal internasional dan sama-sama di timur UTC (lihat peta)


Nah, sistem peribadahan kita tak mengenal kalender Syamsiyah. Jadi, kalau kita mau bicara kalender Puasa, Kalender Idul Fitri, dan kalender Idul Adha, Anda harus LUPAKAN kalender internasional yang Syamsiyah. Mari berpikir 'murni' dalam sitem kalender Qomariyah.

Berbeda dengan sistem Syamsiyah tadi, kalender Hijriyah tidak mengenal garis batas internasional dan tidak mengenal batas waktu tengah malam standar. Kalender Hijriyah ditetapkan semata-mata berdasarkan munculnya Hilal (baik yang ditetapkan lewat ru'yah maupun lewat Hisab). Karena tidak ada garis tanggal internasional, kapan dimulainya tanggal ya tergantung dimana Hilal muncul. Hilal bisa di Indonesia, bisa di Saudi Arabia, dan bisa juga di Amerika.

Batas tanggal bulan pun tidak bisa dibuat dengan garis selurus garis bujur dalam sistem syamsiyah tadi. Sebab, cahaya bulan bersifat oval. Dalam versi visualnya, garis tanggal Qomariyah akan berbentuk seperti ini:


Dalam peta itu Anda bisa melihat meskipun Indonesia lebih timur, tetapi posisinya untuk melihat Hilal jauh lebih baik daripada negara-negara di Eropa. Demikian pula posisi kita di Jakarta atau Yogyakarta yang lebih baik dari orang-orang Saudi Arabia yang tinggal di Tabuk atau Madinah.

Dengan demikian, pertanyaan orang Mesir dalam artikel itu, yang disertai dengan senyuman sinis (tetapi tanda ra mudeng) akan terdengar aneh saja bagi mereka yang memahami kompleksitas kalender Hijriyah.

Intinya: puasalah pada tanggal 9 Dulhijjah, apa pun harimu. Sebab, harimu ditetapkan oleh sistem kalender yang lain (kalender 'kafir', kalau kau mau sebut!). 

6 Komentar

  1. rukyah hilal bolehkah dilakukan secara internasional ?
    ternyata tidak boleh, rukyah hilal harus dilakukan disetiap wilayah, sehingga memungkinkan hasilnya berbeda...

    BalasHapus
  2. Harimu ditetapkan oleh sistem kalender yang lain (kalender kafir! kalau kau mau sebut!).

    Yakin tuh? Berarti selama ini mas Arif puasa Senin/Kamis dan sholat Jum'atnya gak sah, karena menurut mas Arif berdasarkan kalender kafir?

    Mari kita samakan persepsi terlebih dulu. Apakah yg dimaksud dg HARI TANGGAL? Knp harus ada penanggalan?

    Hari tanggal itu tak ada bedanya. Tanggal adl angka yg digunakan sbg penanda hari.

    Supaya apa? Supaya dg mudah utk kita hitung perjalanan hari demi harinya, sehingga bagi kita umat islam dpt dg mudah pula diketahui jumlah 29 atau 30 hari-nya. So, hari = tanggal.

    Untuk itu yg logis tentunya pd hari yg sama ditandai dg satu angka/tanggal. Misal Ahad ini tgl brp, Senin besok tgl brp, Selasa lusa tgl brp dst.

    Jadi menandai satu hari yg sama dg dua atau bahkan tiga angka/tanggal jelas tdk logis.

    Selain itu ada yg harus diluruskan dg istilah dan pengertian ttg kalender qomariah syamsiah. Lebih tepat bagi kalender umat islam jika disebut sebagai kalender hijriah. Yakni kalender yg digunakan utk menandai JUMLAH HARI pd periode ttn berdasarkan siklus sinodik bulan/qomar.

    Sedangkan satu lagi adl kalender masehi (kristen), yaitu kalender yg digunakan oleh umat non-islam. Yakni kalender yg digunakan utk menandai JUMLAH HARI pd periode ttn berdasarkan revolusi bumi thd matahari.

    Salam,
    Purmanto

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Purmanto, terimakasih tanggapannya. Saya "gojek" saja mengatakan "kalender kafir", makanya saya tulis dalam tanda kutip. Jadi jangan serius soal masalah ini. Saya tidak akan pernah menyebut teman-teman saya yang nasrani sebagai orang kafir, saya bukan FPI.

      Berikut tanggapan saya atas poin-poin di atas.

      Pertama, poin saya dalam tulisan itu adalah berlakunya sebuah hari adalah ketetapan konvensi internasional, bukan sesuatu yang syar'i. Saya tidak tahu kapan masyarakat internasional mulai membuat kesepakatan bahwa hari ini, misalnya, adalah Senin dan bukan Selasa, tetapi kita tahu pasti ada kesepakatan soal "International Date Line". Kesepakatan politik dan tidak satu negara pun membantah.

      Kedua, saya sepakat bahwa "sebaiknya", hari=tanggal. Tetapi siapa yang bisa menetapkan? Dalam hal kalender masehi, masyarakat internasional sudah punya kesepakatan.
      Dalam hal kalender hijriyah, sayangnya, tidak ada kesepakatan. Lebih runyamnya lagi, dalam ketidaksepakatan itu, ormas seperti Muhammadiyah pun ikut-ikutan menetapkan tanggal. Di tempat lain, pemerintahlah yang menetapkan.

      Pertanyaan sah dan tidaknya puasa Senin Kamis atau Shalat Jumat (yang menurut Syariat ditetapkan beradasarkan hari tertentu, bukan tanggal tertentu) akan sama dengan sah dan tidaknya puasa Ramadan ketika pemerintah dan Muhammadiyah berbeda pendapat soal kapan "hari dimulainya". Ingat keduanya sepakat puasa tanggal mulai 1 Ramadan, hanya berbeda kapan "harinya".
      Apakah puasa Muhammadiyah yang satu hari lebih awal sah? Jawabanya, "sah" karena mereka "yakin dan sepakat" itu hari mulainya.
      Apakah puasa NU yang sehari kemudian sah? Ya sah karena mereka yakin dan sepakat.

      Apakah besok Jumat 10 Oktober shalat Jumat saya sah? Ya sah karena kita sepakat bahwa 10 Oktober itu hari Jumat.

      Agama itu mudah koq mas. Salam

      Hapus
    2. Syukurlah jika mas Arif sdh menyadari bhw hari = tanggal. Karena mmg tujuan dasar dibuatnya tool berupa almanak adl utk menandai hari dg angka-angka, yg dimaksudkan utk menghitung perjalanan hari demi hari, shg dg mudah diketahui jumlahnya pd periode ttn. Terlepas almanak tsb dibuat dg cara modern (tertulis) ataupun dg cara masalalu yg sederhana (tdk tertulis, tapi dg melihat obyek acuan scr langsung).

      Dg demikian jika masih ada almanak spt ini :

      - Sabtu, 10 Dzulhijjah 1435
      - Ahad, 10 Dzulhijjah 1435
      - Senin, 10 Dzulhijjah 1435

      Jelas tidak logis.

      Begini mas, sesungguhnya agama disisi Allah adl islam. Pun demikian dg almanak hijriah (lunar) dan hari2 yg berlaku di bumi ini yg terdiri dari Ahad - Sabtu. Jadi mari kita 'singkirkan' almanak lain selain almanak hijriah. Dan mari kita sama2 yakini bhw hari yg Ahad - Sabtu yg bersifat global, yg berjalan scr runut, yg start dan finish di IDL adl milik kita, milik umat islam, milik almanak hijriah. Karena secara empiris sblm adanya konvensi penetapan IDL di pasifik, batas hari dimuka bumi ini scr sunnatulloh sdh muncul dg sendirinya di tengah2 lautan tsb.

      Dg demikian jelaslah dlm soal ibadah yg terkait dg sistem waktu (almanak) spt puasa Senin/Kamis dan sholat Jum'at sama sekali kita tdk berdasar atas almanak masehi, krn beribadah dg acuan sistem waktu agama lain jelas tidak dibenarkan.

      Lain dari itu, jika urusan almanak diserahkan kpd masing2 pemerintah, apa jadinya almanak hijriah nantinya. Bisa kita bayangkan akan ada brp versi almanak hijriah nanti. Apalagi jika diserahkan kpd masing2 ormas.

      Mas, kami undang anda utk gabung di grup FB berikut: https://m.facebook.com/groups/427787600677828?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C8759871861

      Disana kita bisa lanjut diskusi lebih luas dg tmn2 lainnya. Kebetulan tulisan anda diatas jg ada yg sdg membahasnya.

      Lebih detail ttg IDL jg bisa dilanjutkan diskusi ditautan berikut: https://m.facebook.com/groups/427787600677828?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C7688630637

      Salam,
      Purmanto

      Hapus
    3. Pertama, International Date Line itu milik semua orang Mas. Nggak ada yangs alah dengan itu. Sebaliknya kalau kita klaim milik kita itu ahistoris karena yang menetapkan garis batas international adalah negara-negara maritim pada abad kesembilan belas seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain. Pun demikian, sekali lagi, nggak ada masalah bagi kita karena hari ibadah seperti Jumat ya memang tergantung cara manusia menghitung kapan jumatnya.

      Kedua, Terimakasih undangannya.

      Hapus
  3. IDL yg berlaku skrg ini ditetapkan melalui konferensi internasional pada th 1884. Tapi mari kita melongok jauh kebelakang. Mari kita lihat ke masa lalu sblm era revolusi industri. Sebelum orang di bumi ini menemukan teknologi perkapalan modern. Sebelum orang berfikir untuk mengelilingi dunia. Yup, jauh sblm tahun tsb apakah lantas tidak ada IDL shg orang2 di muka bumi ini menjalani hari demi hari dg patokan sesuka hati? Tentu tidak.

    Buktinya org2 terdahulu hingga nabi Muhammad menjalani hari demi hari dg acuan tetap, tidak berpindah2, tidak lompat2. Serta runut hari ke hari-nya. Dg siklus 7 harian yg tetap, dari Ahad - Sabtu.

    Lalu knp IDL bisa tiba2 berada di tengah pasifik? Itu semua muncul secara otomatis krn adanya pertemuan ujung timur dan ujung barat. Krn memang HARI di muka bumi ini berlaku dari ujung timur kemudian bergerak ke arah barat hingga ujung barat. Pd pertemuan antara kedua ujung itulah IDL muncul dg sendirinya scr sunatulloh.

    Dg demikian negara2 maritim dg para penjelajah dunia-nya tsb tidaklah menetapkan IDL. Namun mereka itu hanya 'menemukannya' saja. Walaupun pd akhirnya disepakati melalui sebuah konferensi.

    Mari kita lanjut diskas di grup FB berikut saja mas :
    https://www.facebook.com/#!/groups/dewanhijriahglobal/

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama