Bahaya "Madzhab Agama tanpa Akal"

Tidak hanya sekali saya menemukan pemikiran "bunuh akalmu dalam beragamamu" di mimbar khutbah Jumat. Di kampung saya, ada dua khatib yang suka mengulang-ulang mantra anti akal ini. Di masjid kampus UIN Sunan Kalijaga, saya pernah mendengar khutbah semisal dari teman sejawat saya, Okrisal Eka Putra, M.Ag. Hari ini saya baca di status teman dosen lainnya, Dr. Musthofa.

Untuk tiga khatib yang saya sebut, saya tidak bisa memprotes karena khutbah Jumat tidak bisa didebat. Untuk Pak Musthofa, saya akan menulis lebih panjang dari sekedar mengomentari statusnya di Facebook. Pak Musthofa, sebagaimana para khatib, menulis demikian:


Status itu banyak diamini orang, kalau ukurannya tombol "like" di Facebook. Mayoritas mahasiswa kami di KPI, tetapi ada juga Pak Kholili. Saya sendiri senyum-senyum saja awalnya membaca status itu. Sederhana sekali. Pak Musthofa, kalau pemahaman akal tidak boleh digunakan dalam agama, tolong jawab pertanyaan saya:
Hadits Nabi yang sampeyan kutip itu teks aslinya berbahasa Arab. Hadits adalah dalil kedua dalam agama kita. Kalau pemahaman akal tidak boleh digunakan dalam agama, dengan apa sampeyan memahami teks Arab itu?
Kami yang sekolah agama sejak kecil, "sayangnya" terlanjur terlatih menggunakan akal kami untuk beragama. Sehingga begitu kami ketemu dengan sebuah dalil, maka (seperti dalam komentar Pak Nur Ichwan) akal kami segera bertanya, dan tidak hanya satu:
(1) "Apa bunyi asli Arabnya?" (untuk mengetahui validitas terjemahan);
(2) "Apa status otensitasnya?" (untuk mengetahuai apakah Hadits sahih, hasan, daif; untuk mengetahui mutawatir, aziz, ahad; dst);
(3) "Apa konteksnya?" (untuk mengetahui kepada siapa Nabi berbicara, karena Nabi pintar memilih ajarannya mana yang cocok untuk umatnya yang badui dan mana yang untuk mereka yang terpelajar)

Pak Musthofa perlu ingat, kategori-kategori sahih, hasan, daif, dalam Hadits adalah 100% produk akal. Tidak ada tempatnya di al-Qur'an dan as-Sunnah! Membuang akal dalam beragama, sama seperti membuang agama itu sendiri.

Untuk kami yang sekolah di IAIN dan belajar Ilmu Kalam atau Ushul Fiqih, topik posisi akal dalam agama itu sudah jelas dalam diskusi keren antara Mu'tazilah, Maturidiyah, dan Asy'ariyah. Tinggal pilih. Tidak ada yang dinyatakan sesat dalam ketiganya, hanya sosal kecocokan dan selera yang terkait dengan latar belakang dan kemampuan akal kita masing-masing. Seolah-olah, mau ikut Mu'tazilah silakan, mau ikut Asy'ari silakan, mau ikut Maturidi silakan. Nggak ada yang khawatir disebut Islam liberal atau Islam konservatif dan tidak ada yang mengatakan akal harus dibuang.

Kalau benar "tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran", maka mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih wajib dihapus dari UIN. Fiqh  sendiri artinya "pemahaman manusia" dan lewat Fiqih semua hal yang terkait hukum Islam kita rumuskan dengan baik, dengan ilmu, tidak asal-asalan. Agama yang tanpa Fiqih lebih sesat daripada agama orang zindiq!

Demikian pula kita sepakati bahwa untuk menjalankan agama, "berakal" adalah syaratnya. Dalam bab shalat, syarat sah shalat ya "berakal dan baligh", dalam hal haji, syarat sahnya ya "berakal dan baligh", dalam hal puasa, ya "berakal dan baligh", dan seterusnya. Agama adalah untuk orang berakal.

Terakhir, ada sebuah artikel menarik yang bisa dibaca lebih lanjut di halaman web ini. Menghindari error 404, saya kutip bagian terpentingnya berikut:


2 Komentar

  1. Waoww.... saya mengajak agar tidak mudah mengotak-atik nash yang sudah ada dan jelas. karena akal pikir manusia tidak aakan mampu menjangkaunya. kalau gak mau ya sudah....
    Perkara haditsnya sumonggo dikaji, kalau memang tidak shahih, monggo saya ikut. Saya hanya membuka catatan dari guru saya dulu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya akan bantu menilai Haditsnya Pak, tapi nggak nemu teks Arabnya.

      Hapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama