Khotbah yang tidak didengarkan




Setelah naik ke mimbar, ia mengambil teks khotbah itu dan membacanya. Entahlah, apakah itu teks yang ia dapat dari Internet atau kutipan dari buku khutbah yang biasa dibaca di masjid-masjid desa orang NU. Struktur khutbah yang ia baca adalah struktur standar buku-buku khotbah yang dikoleksi Bapak saya di rumah. Khotbah didahului dengan muqaddimah kalimat-kalimat pujian berakhiran semisal. Isi khotbah terdiri atas dua bagian: bagian awal berbahasa Arab dan bagian kedua terjemahan dari teks Arab.

Tetapi, berbeda dengan Bapak saya yang membaca buku-buku khotbah sekali dua kali sebelum berangkat ke masjid, khatib yang satu ini tampaknya cukup percaya diri dengan langsung membaca teks khutbah di atas mimbar. Hasilnya? Satu, dua, tiga, empat kesalahan. Terhenti. Tersendat. Ia seperti tak paham teks Arab yang dibacanya dan gelagapan membaca teks Arab pegon yang tak pernah berstandar dalam penulisannya itu.

Mungkin ia merasa, toh ini hanya khutbah di sebuah masjid desa, masjid keluarganya. Atau, ia pikir khutbahnya hanya akan didengarkan oleh audien ndeso yang tak akan mengoreksi kesalahannya. Atau ia mungkin berpikir bahwa khutbah hanya sekedar formalitas ritual dan tidak akan bermanfaat apa pun bagi pendengarnya. Atau, ia memang benar-benar tidak siap membaca khutbah dan tidak punya kapasitas membaca khutbah yang baik.

Entahlah... siapa yang bisa menebak hati dan diri Sang Khatib? Saya tidak mengenalnya sebagaimana ia juga tidak berpikir bahwa di masjid desanya yang kecil, yang jamaahnya taat mendengar apa pun yang ia bicarakan karena status sosial ke-kyai-annya, mungkin ada satu, dua, atau tiga orang tamu yang akan kecewa dengan khutbahnya.

Atau, justru, kesalahan saya adalah karena mendengarkan khutbahnya. Lima menit setelah ia membaca khutbah, suara riuh, bisik, setengah berisik dari jamaah di luar yang tidak mendengar khutbah segera bersaing dengan suara khatib yang, anehnya, juag terus membaca teks tanpa peduli apakah khutbahnya didengarkan orang atau tidak.

***
Beberapa hari yang lalu, sehari sebelum lebaran, saya membaca tulisan Kyai Husein Muhammad tentang khutbah yang mencerahkan di akun Facebook beliau. Artikel yang baik itu mengingatkan kita akan fungsi khutbah sebagai media pencerahan. Beliau menyebut khutbah sebagai "ruang pencerahan" agar digunakan oleh para khatib sebagai media untuk menyebarkan pesan-pesan keadilan, persaudaran, dan kasih sayang sesama manusia (yang ingin baca, silakan cek lewat website ini).

Saya sepenuhnya setuju dengan pokok-pokok tulisan Kyiai Husein. Hanya saja, begitu ingat kejadian-kejadian seperti di masjid tersebut, saya jadi berpikir: bagaimana mungkin khotbah bisa mencerahkan pendengarnya kalau para khatib sendiri 'gelap' tentang apa yang ia khutbahkan?


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama