Kepergian Seorang Teman


Kata para alim, kita tidak bisa memilih kematian: kapan, dimana, dan bagaimana, semua sudah ada taqdirnya. Tetapi aturan itu seperti tidak berlaku bagi Pak Nanang, kolega di UIN Jogja, tetangga depan rumah kami. Ia seperti bisa memilih waktu, tempat, dan bagaimana caranya meninggal.

Sudah bertahun-tahun Pak Nanang menderita stroke yang membuat bicaranya tak lancar dan kondisi fisiknya tak prima. Kami sering harus memintanya untuk mengulang pertanyaan bila saling sapa, "Apa pak?", dua atau tiga kali harus kami tanyakan kalau ia yang ramah selalu berusaha menyapa kami.

Sebagai tetangga, kami termasuk tetangga yang 'tidak baik' bagi Pak Nanang. Kami (saya dan tetangga yang lain) seringkali 'menuntut lebih': mestinya Pak Nanang itu begini, mestinya begitu, mestinya tidak begini, mestinya tidak begitu, dan semisalnya ketika kami melihat hal-hal yang tidak kami cocoki  (ahh, apa sebenarnya hak kami menuntut seperti itu?). Maka 'rasan-rasan' tetangga pun seringkali terjadi: di Mushalla (kebangeten kan di tempat ibadah pun rasan-rasan?), di acara RT, di acara kampung. Pak Nanang adalah topik favorit kami.

Pak Nanang kami 'rasani' karena Pak Nanang memang tidak seperti kami. Pak Nanang orang yang kelewat baik, tidak seperti kami. Orang yang kelewat sabar, tidak segampang marah seperti kami.

Pernah suatu malam, sehabis maghrib, Pak Nanang sekeluarga (istri dan anak semata wayangnya), pergi bersama. Saya guyon saja sebenarnya, sekedar basa-basi menyapa, "Wah, jalan-jalan nih. Jangan lupa jajannya ya Pak". Jam 22.00, rumah saya diketok orang. Saya bukakan pintu, ternyata Bu Nanang benar-benar membawakan jajan untuk kami: satu kotak terang bulan. Saking baiknya Pak/Bu Nanang, guyonan saya pun ditanggapi.

Kesabaran Pak Nanang seperti tak ada bandingnya di tempat kami, dan karena itu kami sering ngrasani soal caranya membiarkan anak semata wayangnya bertingkah seperti lazimnya anak-anak: teriak-teriak saat ada orang shalat, berlarian di antara shaf, atau tanpa alas kaki naik turun mushalla. Bukankah sabar itu adalah ciri para Nabi? Mengapa kami justru yang tidak sabar menyalahkan kesabaran Pak Nanang?

Kemarin pagi, tanggal 2 Syawal Pak Nanang pergi meninggalkan kami. Tidak di sini, di Jogja, tetapi di tanah kelahirannya Ponorogo. Kalau selama Ramadhan dosa-dosa kepada Tuhan diampuni, dan pada tangal 1 syawal dosa-dosa dengan sesama kita lebur dengan saling memafkan, adakah hari yang lebih baik untuk mati selain tanggal 2 syawal setelah semua dosa dihapus dan kekhilafan termaafkan? Dan bagi Pak Nanang yang selalu ingin kembali ke Ponorogo walau sudah punya rumah di sini, adakah tempat yang lebih baik selain mati di tempat yang ia selalu kangeni ntuk kembali?

Jadi, selama beberapa tahun ia menderita stroke, ternyata ia sedang dilebur dosanya dengan sakitnya. Selama menjadi bahan rerasan kami, ia ternyata sedang menabung pahala karena dosanya dikurangi dan pahala orang yang ngrasani akan dihitung sebagai pahalanya, dan sakit yang membuat bicaranya tak lancar seperti sengaja agar lisannya lebih suci, tak sekotor lisan kami yang ngrasani.

Pak Nanang, dengan cara yang kami sebut 'pintar', kini sudah berpulang.

Selamat jalan Pak. Kami semua pasti menyusul. Hanya soal giliran saja. Semoga kami juga dipilihkan waktu, tempat, dan cara yang baik.

Untuk Teman dan Tetangga Kami: Nanang Hidayatullah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama